Untuk mengetahui suatu hal maka segeralah berkecimpung di dalamnya. Dan untuk bisa memutuskan suatu hal dengan bertindak maka segera untuk mempelajari bagian-bagian dari subjek tersebut. Rasakan bagaimana pengalaman demi pengalaman yang akan membentuk kita. Sehingga kita bisa mahir di dalam suatu objek tersebut.
Demikian juga untuk menjadi orang tua yang bijak, tentu kita harus belajar terus di dalam mengasah keterampilan kita di dalam mengasuh anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Baik belajar dari buku-buku parenting yang ada secara fisik ataupun digital, maupun belajar dari pengalaman orang lain yang kita lihat di sekeliling kita. Tapi sebenarnya ada satu yang paling penting adalah belajar kepada si anak secara langsung.
Kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkan segudang ilmu ataupun pengalaman kita di dalam menghadapi setiap anak-anak tersebut. Sebab ilmu kita terbatas apalagi pengalaman kita. Tapi ada satu media atau sumber yang tak terbatas, yakni si anak itu sendiri.
Sebenarnya kita tidak akan kehabisan ide atau gagasan tentang bagaimana anak, jikalau kita bisa melihat dan mempelajari sunguh-sungguh si anak itu bagaimana. Mulai dari tempat tidurnya, hingga aktvitas kesehariannya, dan kemudian kembali lagi istirahat tidur di malamnya. Makanya penting yang namanya jurnal perkembangan anak. Dimana di setiap harinya penting untuk mencatat apa yang sudah bisa dipahami, dituruti, dilakukan dan apa yang masih belum.
Kemudian mencoba membandingkan data-data tentang perkembangan anak dengan melihat tulisan-tulisan yang sudah terbit tentang anak tersebut. Apakah mengalami kesesuaian data, artinya sesuai pengalaman masa lalu dari hasil tulisan tersebut dengan masa sekarang ini. Atau ternyata perkembangannya malah lebih cepat atau malah lebih lambat jika dibandingkan dengan apa yang sudah dituliskan tersebut. Â
Sebab memang banyak ulasan yang membahas tentang teori-teori perkembangan anak. Mencoba mengetahui teori-teori tersebut tentu bagus adanya. Tapi bukan itu yang penting. Yang penting adalah dengan memakaikan pemahaman tersebut di dalam membentuk perspektif yang baru bagi kita ketika kita berhadapan secara langsung dengan anak.
Oleh karenanya kurang setuju dengan pendapat-nya John Locke  yang menyatakan bahwa anak seperti sehelai kertas kosong, teori tabula rasa. Dimana peran orang tua dan lingkungan-lah yang akan menentukan kemana perkembangan anak selanjutnya.
Tapi lebih dari itu, dan lebih menyetujui bahwa anak sebenarnya bukan seperti kertas kosong. Melainkan setiap dari anak-anak kita adala unik dan sudah memiliki pembawaan, serta kemampuan-kemampuan terpendam di dalamnya. Sehingga  bagi kita para orang tua sebenarnya harus bisa mengeksplorasi si anak dengan sungguh-sungguh. Dengan harapan  supaya mereka bisa berkemban g secara maksimal.
Contohnya saja diriku. Aku sedang berada di dalam sebuah misi, yakni misi untuk belajar dari anakku sendiri  secara langsung. Mempelajari tentang, apa itu artinya anak; apa itu artinya bertumbuh; dan apa itu artinya hidup. Ketika kita bisa mengetahui aspek ini, maka kita akan lebih mudah menghadapi setiap anak-anak kita.
Ada banyak yang sedang kupelajari akhir-akhir ini. Mempelajari dengan menimbulkan banyak pertanyaan tentang anak itu siapa, mengapa dan bagaimana. Meskipun jawabannya terkadang  belum tetu langsung terjawab.Tapi sudah cukup bagiku untuk bisa menelaah dan meneliti perkembangan kasus tersebut. Sebab sesungguhnya bertanya adalah kunci dari pembelajaran kita tentang anak tersebut siapa, mengapa dan bagaimana.
Seperti pertanyaan berikut : Â Mengapa anakku suka memukul atau melakukan kekerasan kepada orang lain terutama kepada kakaknya sendiri? Pada saat umur berapa tindakan tersebut mulai di dapatkannya? Apakah kesukaan main pukul tersebut, muncul secara alami atau karena memang kondisi di dalam keluarganya sering melihat orang tuanya suka main tangan. Bagaimana cara untuk bisa meredam bahkan mengubah kebiasaan buruk tersebut?
Memang kuakui bahwa di dalam keluarga kami, suara-suara keras, dan kuat sering terdengar oleh mereka. Bahkan  ketika mereka sedang tampak bermain dan satu dari mereka melakukan satu kesalahan. Tak jarang akhirnya kami mengingatkan mereka dengan sebuah seruan keras. Dimana sebenarnya hal ini tidaklah perlu. Dan kami sedang mengevaluasi apakah kebiasaan ini baik bagi pertumbuhan merea atau tidak.
Kemudian mendeteksi kemampuan mereka secara spesifik  bagaimana. Seperti yang pernah kami saksikan, bahwa anak si nomor dua-ku ketika mendengarkan sebuah lagu atau nyanyian di TV, radio dan bahkan suara kami sendiri, maka dirinya secara spontan akan langsung goyang-goyang kepala seperti orang yang menari. Tapi anak sulungku, tidak demikian adanya.  Pembawaannya tampak lebih menikmati saja tanpa adanya ekspresi goyang-goyang kepala.
Selanjutnya, sering kutemukan bahwa si anak pertama akan meminta melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan kepada si anak kedua. Entah apa yang akan ada dipikirannya, ketika diriku akhirnya tidak menuruti kemauannya. Tapi selama ini, aku tetap menuruti kemauannya tersebut, untuk menghindari adanya pembedaan-pembedaan yang akan mungkin dirasakan mereka sejak dini. Bahwa ketika si adek dapat, si kakak otomatis juga harus mendapatkannya.
Tapi untuk sebaliknya, ketika si kakak dapatkan perlakuan tertentu, si adiknya belum meminta melakukan hal yang sama seperti apa yang kulakukan kepada si kakak. Artinya memang tahapan perkembangan pemikirannya mungkin belum-lah sampai seperti kakaknya sekarang. Kapan kira-kira atau pada usia berapa dia akan mendapatkan konsep  untuk mendapatkan perlakuan yang sama tersebut? Atau mungkinkah tidak akan seperti kakak-nya sekarang? Dan kalau terjadi kira-kira apa yang menjadi penyebabnya?
Mungkin itu sedikit peristiwa yang bisa kukemukakan. Artinya bahwa akan ada banyak jurnal-jurnal harian untuk bisa mencatatkan pada saat kapan mereka bisa memulai untuk pertama kali ke-bisa-an tersebut. Sehingga kita akhirnya bisa mengevalusi dan bisa segera menyimpulkan bagaimana-sih perkembangan anak-ku sekarang? Apakah mengalami perlambatan perkembangan jika dibandingkan dengan teman-teman yang sebayanya, atau malah mengalami percepatan?
Jadi pada akhirnya, mari timbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan di dalam  mempelajari anak-anak kita. Sebab dengan bertanya, maka otak kita akan dituntun untuk segera menemukan solusi demi solusi. Akhir kata, mari belajar kepada anak. Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H