Lembaga Survei yang ada saat ini bukanlah untuk kepentingan publik atau untuk kepentingan masyarakat pemilih. Sebab pada faktanya hal ini atau data-data yang ditampilkan atau dirilis oleh mereka sebenarnya hanya untuk memuaskan keinginan pembaca saja yakni masyarakat untuk bisa mengetahui mana yang lebih kuat dan mana yang hanya biasa-biasa saja. Selain itu tidak ada lagi kepentingan untuk mengetahui detil tentang hasil survei mereka.
Selanjutnya lembaga survei juga terkadang tidak netral di dalam menampilkan hasil-hasil riset mereka. Terkadang mereka menjual data tersebut ke paslon tertentu atau ke partai tertentu untuk bisa menjadi kajian mereka di dalam membalikkan keadaan atau supaya bisa memenangkan kontestasi pilkada ataupun pilpres.
Seperti yang dilakukan oleh Denny pemilik dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) telah memasang tarif senilai milliaran rupiah untuk menjadi agen konsultasi politik bagi para parpol yang bersedia membayar hasil riset mereka. (Sumber : tirto.id,17/2/2017).Dan bukan hanya sekedar menampilkan hasil riset bahkan memberikan sejumlah masukan bagaimana bisa memenangkan pemilihan tersebut.
Hal itu wajar-wajar saja dilakukan oleh lembaga survei tersebut. Supaya Lembaga Surveinya bisa bertahan dan terus beroperasi. Butuh pendanaan yang kuat dan hal itu hanya bisa didapatkan dari parpol-parpol atau perorangan yang maju dalam ajang pemilihan yang ada.
Oleh sebab sulitnya lembaga survei ini netral di dalam menyampaikan sejumlah hasil survei mereka ke publik tentang beberapa paslon, maka sebaiknya beberapa hasil survei ini tidak dikonsumsi oleh publik atau masyarakat umum.
Perlu kita ketahui juga bahwa para pelaku survei politik Indonesia terbelah ke dalam dua kubu, seperti yang dilansir tirto.id (17/2/2017). Pertama kubu 'akademik', yang meyakini bahwa jajak pendapat semestinya melayani kebutuhan masyarakat akan informasi serta transparansi politik. Sedangkan yang kedua adalah kubu "komersial", yang tak keberatan ikut mengorganisir kampanye bagi partai dan kontestan pemilu.
Maka kita tak heran melihat hasil survei yang sedang terjadi di provinsi Jawa Timur. Ada dua lembaga survei yang menampilkan dua hasil yang berbeda. Seperti yang dilansir oleh indopos.co.id (19/3/2018). Dimana sebelumnya PolMark Indonesia mengumumkan pasangan Gus Ipul-Puti unggul dibanding Khofifah-Emil Dardak. Tapi kemudian giliran Poltracking mengumumkan hasil survei yang berbeda dan menyatakan bahwa kubu Khofifah-Emil Dardak lah yang lebih unggul.
Poltracking mengumumkan hasil surveinya pada Minggu (18/3), yang menyebutkan bahwa Khofifah-Emil meraih 27,3 persen, diikuti Gus Ipul-Puti yang mendapat 21,3 persen. sisanya hampir 40 persen belum menentukan jawaban.
"Ketika pilkada diadakan hari ini, memang Khofifah-Emil unggul tipis atas Gus Ipul-Puti. Ini bisa berubah, karena pencoblosan masih tiga bulan lagi. Ini karena undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) masih tinggi itu," kata Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yudha.
Tapi PolMark Indonesia yang telah lebih dulu mengumumkan hasil survei mereka bahwa pasangan Gus Ipul-Puti yang akan lebih berpeluang memenangkan Pilgub Jabar, jika pilkada dilaksanakan hari ini.
"Pasangan Gus Ipul-Mbak Puti unggul 42,7 persen, dibanding pasangan Khofifah-Emil Dardak yang hanya 27,2 persen. Sementara pemilih yang belum menentukan pilihan sebesar 30,1 persen," kata CEO PolMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah.