Matahari belum lagi bangun saat lampu di kamarnya menyala. Terang lampu itu membangunkan Aminah. Tubuhnya masih terasa pegal, karena kemarin mbrondol sampai malam. Matanya melirik jam di dinding. Masih 03.30. Mispan suaminya masih tertidur nyenak. Demikian juga putri bungsunya. Pelan-pelan ia beringsut dari ranjang, mematikan lampu teplok dan melangkah menuju dapur. Melewati putra sulungnya yang juga masih masih terlelap. Memasak untuk sarapan pagi buat keluarganya, sekaligus untuk makan siang, sekaligus untuk malam. Sekali kayuh, dua tiga pulau terlampaui.
Disisihkannya makanan untuk ia dan suaminya makan di kebun sawit nanti siang. Pakaian TK si bungsu dan SD si sulung dikeluarkan dari lemari. Sebersit senyum bahagia terlihat saat ia memandang pakaian sekolah anak-anaknya.
“Terima kasih Tuhan anakku bisa sekolah”,doanya.
Dua ember menemaninya keluar dari rumah menuju tank penampungan air. Nampak beberapa ibu juga sedang mengisi air. Terdengar olehnya logat Jawa, Banyumasan, Batak dan Flores keluar dari mulut mereka. Ber-“hai-hai” sebentar, Aminah kembali ke rumah dan mengisikan air dari ember ke bak mandi. Rutinitas 6 tahun itu masih belum bisa membuatnya bosan.
“Mas, bangun. Sudah jam setengah empat. Satu jam lagi kita harus sudah di kebun”.
Digoncang-goncangnya tubuh suaminya. Mispan, lelaki ganteng bertubuh sedang itu melamar Aminah 11 tahun yang lalu di desa mereka di Wonosobo. Saat itu Aminah berumur 13 tahun sedangkan Mispan 22 tahun.
Mispan menggeliat sebentar, lalu bergegas mandi. Setelah sarapan bersama, mereka bergegas ke kebun. Mispan mengenakan helm proyek warna kuning berjalan sambil membawa egrek dan kapak kucir terlihat gagah berjalan. Egrek seberat 15 kg itu ringan saja dia bawa. Maklum sudah terbiasa. Sementara Misnah membawa perlengkapannya. Gerobak, ember dan karung.
“Aku hari ini kerja di blok 16. Kamu di blok 19, kan ?”.
Aminah mengangguk kecil.
Peran ganda harus dilakoninya. Upah mbrondol bisa menambah penghasilan keluarga. Satu ember berisi 7 kilo sawit brondol dihargai Rp 1.500,-
“Mudahan dapat 100 ember seperti kemarin”, pikirnya.
Lumayan buat menambah upah suaminya. Sebagai pemanen, upah Mispan 1 jutaan per bulan. Jika sedang banyak buah, suaminya dapat premi. Seratus tandan dihargai Rp 50.000,-
Lima belas menit berjalan, mereka pun berpisah. Aminah melihat pemanen pasangannya di blok sudah mulai memotong pelepah dan menarik tandan. Di perkebunan ini pasangan suami istri tidak boleh bekerja satu blok. Karena perusahaan kuatir akan terjadi KKN. Suami sengaja membuat brondolan banyak agar istrinya dapat upah banyak.
Saat Aminah sudah membereskan pohon kedelapan itulah aku mengajak dia ngobrol.
“Ngga usah, Mas. Nanti tangannya kotor”.
Aku tidak menuruti anjurannya.
“Tidak pakai sarung tangan, Mbak?”.
“Repot, Mas. Sawit sering nempel. Enakan begini. Gatalnya ya ditahan-tahan saja. Sudah kebal”, ujarnya.Teknologi kadang malah merepotkan.
Teringat perkataan Solichin dan Soeharto, pemanen yang kuajak bicara sebelumnya.
“Pusing kalau pakai helm. Ya resikonya setiap hari kepala ini tertimpa brondolan sawit. Sudah langganan, sih”.
“Asal tidak tertimpa pelepah dan tandan”, kata mereka saling menimpali.
“Panas dingin kalau kena. Apalagi kalau durinya tidak tercabut. Beracun, Mas. Untung berobat gratis”.
“Resikonya ya beras jatah bulanan tidak dapat”.
Sama-sama berasal dari Banjar Negara membuat mereka kompak. Logat khas Banyumasan sangat kental kalau mereka berbicara. Ahmad Solichin terlihat lebih tua dari umurnya yang 45 tahun itu. Mungkin karena sudah 11 tahun bekerja di sawit. Berbeda dengan Soeharto yang baru berumur 43 tahun. Ia bekerja sudah 8 tahun. Mukanya terlihat sesuai dengan umur.
Hari ini mereka kena giliran untuk jadi Buruh Lepas Harian. Karena mesin pabrik rusak, jumlah pemanen yang biasanya 10 orang 1 blok dikurangi menjadi 8 orang. Tugas mereka adalah merapikan ancak dipinggir jalan panen. Lumayan juga. Sehari dapat upah Rp 40.000,-
Saat aku masuk mobil jemputan, terlihat Aminah terlihat ringan mendorong gerobaknya yang penuh brondolan. Melewati jalan becek karena ancak yang dijejer di pinggir jalan membuat air hujan tidak mengalir keluar.
Semoga tak sebecek hidupmu dan anak-anakmu, Aminah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H