Sempat tersendat beberapa lama untuk menulis postingan ini. Karena berbagai hal menjadi kesibukan, namun konsisten tetaplah konsisten, mempertahankan komitmen untuk tetap menulis tidak mudah, namun memperjuangan komitemen agar telaksana, itulah yang manis.Bagaimana ruangan kenanga? Check this out!
Hari pertama di ruang Kenanga adalah sore tanggal 24 April 2014, hari kedua aku minta jadwal malam, karena akan seminar proposal paginya. Saat datang di malam hari untuk dinas, teman-teman se-dinas mulai menanyaiku tentang seluk beluk seminar proposal yang kuhadapi pagi tadi. Karena sebagian besar mereka belum maju seminar saat itu. berbagai aku jelaskan, dan mencoba agar menjadikan mereka semangat untuk maju seminar secepatnya. Berikutnya si Vivin yang akan sidang di hari senin nanti.
Oke lanjut saja tentang keadaan ruangan kenanga. Ruangan kenanga adalah salah satu ruang bedah wanita. Namun penyakit tebanyak disini mengenai sistem endokrin, seperti diabetes melitus sepaket dengan ulkusnya, penyakit darah seperti anemia, serta penyakit imunologi seperti SLE. Ruangan ini tak asing bagi kami, karena saat tingkat 2 pun kami pernah dinas disini. Dengan kakak ruangan yang sama dan penambahan satu-dua orang wajah baru. Berbagai kejadian dan ksiah ada disini, tak beda dengan ruang lainnya, disini tempatnya mereka yang sakit dan mereka yang berjuang demi kesembuhan sambil menunggu takdir terbaik dari Allah. Pasiennya beraneka ragam, ya, ragamnya membuat kisah.
Pasien Curhat Hingga Menangis
Entah apa yang terjadi pagi ini. Aku masih dalam dinas sejak malam tadi. Sekitar pukul setengah enam pagi, kami menyebar untuk mengecek TTV (Tanda-tanda Vital; Tensi darah, hitung nadi permenit, nafas permenit, dan suhu tubuh) para pasien. Seperti biasa pula aku melakukan tindakan tensi darah dkk sembari menanyakan kondisi. Mengobrol, sedikit bersanda, sedikit menghibur dengan perkataan yang mudah-mudahan gak sia-sia. Namun tiba-tiba si ibu A ini bercerita tentang sakitnya. Dirinya yang merasa Stress karena sakitnya banyak dan tak kunjung sembuh. Ditambah dengan luka di pergelangan tangan kirininya yang semakin hari semakin melebar, karena beliau punya sakit Diabetes Melitus juga.
“Sus, Maafin ibu ya kalo ibu punya salah, ibu usah capek kondisi kayak begini terus, gak berubah-ubah.., malah pusing, mau ngapa-ngapain pusing, mual.. ibu udah gak tahan..” tutur si ibu sambil meneteskan air mata.
Walaah, aku juga kaget, kok si ibu jadi nangis, awalnya ibu ini menanggapi obrolan dengan baik dan biasa, si ibu yang penglihatannya pun sudah gelap karena Katarak.
“Gak ada yang salah, gak perlu minta Maaf bu.. Gak boleh ngomong gitu bu, ikhlas ya bu.. ini sebagai penggugur dosa ibu, pasti ada hikmah dari Allah..”
“Iya Sus, kemarin ibu marah sama suster yang mau pasang infus, ibu marah karena trauma. Kan luka di tangan kiri ibu ini karena pasang infus, terus luka malah jadi lebar gini, luka pas pasang infus di ICU, ibu kan dulu sempet koma 3 hari..”
“Nah, kan ibu disini biar kami rawat bu.. jadi ibu tenang aja, ikhlas ya bu.. tensi ibu jadi naik kan nih... 190/110..”
“Ya Allah naik lagi, padahal ibu gak makan apa-apa Sus..”
“Makanya ibu jangan stress, ibu jangan banyak pikiran, ibu istirahat aja, bias tensinya normal ya bu.. “
*Kemudian aku mulai memberi terapi sederhana untuk meringankan stress ibu, sekaligus memberikan relaksasi.. latihan tarik nafas dalam.
[caption id="attachment_322844" align="aligncenter" width="539" caption="dok. pribadi. suasana dalam salah satu ruangan "][/caption]
Masih diruang yang sama, di ruang kelas 3 di kenanga. Aku mengecek TTV ibu yang diujung. Si ibu sudah 1 hari di perintahkan dokter untuk puasa, untuk menghindari atau mengistirahatkan saluran pencernaannya karena ibu menderita Melena, atau berak darah. Si ibu ini memohon dengan sangat untuk minum, dan kerennya ibu ini menggunakan bahasa Indonesia Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), bahasa Indonesia tulen, nah kali ini juga sambil meneteskan air mata.
Waah pagi ini para pasien sedang melankolis ternyata. Saat-saat begini, caring dari perawat adalah nomor 1, gimana jadinya kalo seseorang yang bertugas merawat acuh dengan pasien? Bukankah yang harus di kaji, diamati dan di bantu meliputi Bio-Psiko-Spiritual? Tak hanya biologisnya pasien, tapi psikologi serta kepercayaan dari sang pasien. Psikologi pun sangan mendukung kesembuhan pasien.
“Sus, saya mau makan dong, sesendok Saja, sedikit saja.. saya juga mau minum.. setetes saja jadilah.. hiks hiks” tutur ibu sambil menangis.
“Kata dokternya gimana bu?”Aku bertanya sekalian dengan keluarga pasien yang menjaga.
“Kata dokter di puasakan dulu Sus..” jawab si anak
“Ya, ibu puasa dulu ya,, sabar. Kan sudah dipasang infus, itu juga untuk memenuhi cairan sama tenaga ibu.. ibu sabar ya..”
“Tapi Sus...” si ibu agak drama nih, dan meneteskan air mata..
“Sabar ya bu, Ikhlas!” *tring
Si ibu akhirnya mengangguk dan menutup wajahnya dengan jarik (kain) yang sejak tadi ia pakai. Intervensi apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan? Tentu seorang perawat mengikuti panduan dari dokter yang menangani pasien, seorang perawat mendukung terapi yang di resepkan, semata-mata demi kebaikan dan kesembuhan pasien.
[caption id="attachment_322845" align="aligncenter" width="303" caption="dok. pribadi. tindakan"]
MENANGIS SEJADINYA, PSIKOLOGI KELUARGA PASIEN PLUS. MENOLAK
Jelang siang itu, tiba-tiba ada histeris disana. Kaget. Suaranya sangat menggelegar, sedetik kemudian tim medis berlarian, baik perawat maupun dokter muda (Koass), disisi lain mereka membawa ambu-bag (sejenis alat bantuan nafas) , kemudian melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru), mencoba mempertahankan hidup, siapa tau beliau masih memiliki waktu untuk bersama keluarga yang dicintai. YA, pasien itu baru saja masuk ruangan semalam, pagi ini baru saja kami pasangi kateter (selang kencing) dan NGT (Naso Gastrik Tube) sebagai medianya untuk mendapat nutrisi. Beliau tak sadarkan diri, nafa s tersengal, namun baru saja di tensi tekanan darah 100/70 MmHg.
Keluarga menangis melihat keadaan ibu atau nenek mereka ini. Tangisan mereka turun volumenya tatkala tim medis sedang melakukan pertolongan mempertahankan hidup si nenek. Sejadinya, hingga akhirnya Allah memberikan jawaban, di dapat bahwa pupil klien tak lagi merespon cahaya, denyut jantungnya tak lagi berdetak, dan wajahnya kian pucat. Seorang Koass berkata “Sabar ya Pak.. Bu.., Nenek sudah meninggal..”
Serempak, kuat, histeris, mereka semua menangis. Keluarganya ramai, suara mereka besar, dan hal itu mengundang keluarga pasien lain untuk melihat apa yang terjadi, sektika ruangan itu ramai, seluruh keluarga pasien seakan mendapat tontonan. “Keluar Pak.. Bu.. ini bukan tontonan! Gimana kalau keluarga kita dijadikan tontonan, pasti gak ada yang suka ya Pak.. Bu.. sekarang keluar, jangan ramai disini..” ujar salah seorang perawat.
Segera dengan insiatip, kami ambil sterm putih yang ada di sudut lorong. Sampiran itu segera kami pasang menutupi klien dan keluarganya yang sedang berduka, mereka sedang mengalami fase berduka. Fase awal adalah menolak, dimana mereka belum percaya ditinggal anggota keluarga yang mereka cintai. Tak lama salah seorang dari keluarga pasien itu marah dan teriak. Dia marah karena keluaga pasien lain ikut melihat di kaca, seakan mereka menonton suatu drama sandiwara. “Pergi kamu!! Jangan melihat kesini. Kamu pikir emak saya tontonan apa? Kurangajar kamu ya!!” ujar seorang lelaki sambil menunjuk kearah kaca yang polos. Kemudian hening dan BRAKK!! Seorang anak dari pasien yang meninggal itu jatuh. Dia pingsan. Fase terberat adalah saat mendapati keluarga tercinta meninggalkan kita, siapa yang mau? Siapa yang setuju? Namun manusia harus kembali pada hakikatnya. Semua yang bernyawa pasti akan kemabali pada sang pencipta. Kapan pun, tak ada yang tahu.
[caption id="attachment_322849" align="aligncenter" width="539" caption="dok. pribadi. jeda sedikit, tetap menulis, ah dasar calon perawat : "]
Kegiatan yang super sibuk ada di pagi hari, sedangkan jelang sore kami disibukkan dengan memantau pasien yang tranfusi darah, memantau agar darah haru habis selama 3 jam, memantau agar infus tak macet karena gumpalan darah, mengganti plabot infus, memasang infus baru jika terjadi bengkak dan semacamnya. Memberikan suntikan insulin di setiap waktu sesuai jadwal pasien. Dan di sela itu kami menulis laporan Asuhan Keperawatan yang sudah pasti akan dikumpul sebagai bukti hasil kami dinas di ruangan.
MENGAJAK PASIEN SADAR
Pasien ini telah beberapa hari tidak sadarkan diri. Hanya tidur dan mengorok. Di suatu pagi beliau sadarkan diri. Namun masih Apatis, ekspresi acuh pada suasana. Beliau hanya menggerakkan mata, menggerakkan kepala ke kanan-kiri namun belum bisa berbicara. Saat di ajak berbicara belum merespon. Aku selalu memotivasi keluarga pasien untuk terus mengajak pasien bicara, siapa tahu si pasien akan merespon verbalnya.
Aku pun begitu, tiap mengecek TTV beliau, aku selalu mengajak bicara beliau. Walaupun tak pernah di respon. Aku bagai mengajak bicara bayi, dengan anggukkan kepala, bertanya perlahan sambil menepuk pundak si nenek.
“Nenek makan ya? Dari mulut ya makannya? Jangan dari selang muluu nek..” ujar ku bercanda.
“Gimana bisa makan dari mulut sus, giginya habis, tuh ompong semua..” tutur anak si nenek, seorang ibu.
“Oo, ompong yaa. Mana giginya nek? Coba tunjukin??” candaku lagi.
DAAAN... senyum itu keluar aah si nenek tersenyum dan membuka mulutnya, senyumnya lebar memperlihatan gusi tanpa gigi itu. berkali-kali nenek itu tersnyum lebar tatkala aku bilang tentang giginya yang ompong. Waah Alhamdulillah beliau merespon. Seketika keluarga pasien yang sedang berdiri di dekat sana pun melihat, kami tertawa bersama melihat si nenek yang akhir tersenyum lebar tanpa suara.
Respon yang bagus nek, sip! “Bu, ini di lanjutkan yaa, udah bagus nih respon si Nenek, kalau dilatih diajak bicara nanti Nenek bisa jawab juga kok...”
“Sus, aku capek, sering ngajak ngomong tapi gak pernah di respon..”
“Jangan nyerah dong bu, kan biar Ibunya cepat pulih. Semangat bu!” kemudian aku berlalu.