[caption id="attachment_400178" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustasi, Sel Kanker (Shutterstock)"][/caption]
“Jangan di jayii.. huhu jangan di jayiii...” tuturnya sambil terisak, berkata jangan di jari, jangan di jari.
“Daripada kamu ditusuk terus nak..” tutur si ibu.
“Jangan di jayiiiiii! Huaaaa” si anak lalu menangis lagi.
“Enggak kok, enggak di jari...” si perawat masih berusaha mencari pembuluh lurus yang ada di punggung tangan si pasien.
Ya, kala itu si pasien akan dipasangi infus. Untuk memasukkan cairan yang dibutuhkan, memasukan obat injeksi, dan untuk memasukkan kebutuhan darah yang diperlukan oleh si pasien.
Pasien sudah berminggu-minggu ada di rumah sakit. Seakan sudah terbiasa ditusuk oleh jarum suntik, baik untuk pemasangan infus maupun pemeriksaan lab atau pengambilan sampel darah (cross) ketika ingin mengambil darah di PMI. Anak ini memberikan tangannya dengan sukarela. Saat ditusuk, ia pun hanya diam, memperhatikan. Tak menangis.
“Ndak sakit toh le?” tanya ibunya.
Si anak masih diam. “Le, ibu tanya dijawab toh le...”
“Saaaakiiiit buuuu...” jawab si anak dengan rintihan. Si anak ternyata menahan sakit dan menyimpan tenaganya. Ya Allah sekecil itu, 5 tahun usianya. aku sendiri ditusuk jarum sedikit untuk periksa darah saja udah merasa uring-uringan, paling menghindar. Apalagi harus diinfus? : (
Pasien tersebut menderita penyakit kelainan darah. ALL namanya. Atau Acute Lympoblastic Leukimia). ALL adalah sejenis kanker kanker darah yang mempengaruhi sel-sel darah putih yang masih muda. Sel-sel tersebut berkembang dalam kondisi yang terkendali di dalam sumsum tulang. Perkembangan tersebut menghambat produksi sel-sel darah normal. Anak-anak yang mengidap ALL rentan terhadap anemia, infeksi kambuhan, mudah memar dan berdarah karena sumsum tulang mereka tidak memproduksi cukup sel darah merah, sel darah putih dan trombosit (sumber: http://www.parkwaycancercentre.com).
Di sisi lain, ada orang tua yang siaga menunggui anaknya. Mengorbankan segala waktunya. Sempat berpikir, “Salah apa anak-anak kecil ini. semuda ini diberi ujian sama Allah?” Saat itu sempat menonton acara Syafa’at di Trans7. Ternyata cara Allah lah memberikan manusia ujian melalui anak-anak mereka. anak yang sehat maupun sakit adalah ujian. Allah melihat, Allah maha teliti. Ketika anak sakit, Allah mengamati bagaimana reaksi dan keikhlasan dari orangtua untuk berusaha memperjuangkan kesembuhan anaknya. Saat itulah Allah menguji dan meningkatkan derajat keimanan seseorang jika orang tersebut berikhtiar dan ikhlas di jalan Allah.
Ialah tiga hurup untuk sebuah penyakit. Dari dua penyakit kulit yang dahsyat, juga bisa mengenai anak-anak. Sistemik Lupus Eritematosus dan Steven Johnson Syndrom.
Dulu, saat aku mahasiswa di ruangan wanita dewasa, ada pasien yang menderita Steven Johnson Syndrome. Dia bilang, awal mulanya tiba-tiba kulit ruam melepuh, mengelupas dan berair. Padahal ia pagi itu baru akan siap-siap berangkat kerja. Dan tiba-tiba terjadi hal yang diluar dugaannya.
Kali ini di ruangan anak. Ada pasien anak yang menderita hal serupa. Namun riwayatnya demam, lalu diberi obat paracetamol syrup dan tablet GG. Diduga ia alergi terhadap kedua obat itu. Karena muncul ruam setelah pasien minum obat tersebut. Namun menurut dokter spesialis kulit sendiri, untuk alergi terhadap obat paracetamol masih kecil kemungkinan. Namun diusahakan pada pasien ini untuk tidak dulu mengkonsumsi obat tersebut ketika sakit. Dokter mengganti obat dengan kandungan lain yang fungsinya tetap menurunkan demam.
[caption id="attachment_370895" align="aligncenter" width="490" caption="sumber: yohanesaprie.blogspot.com"]
Wangi semerbak.. nyuuus. Si anak meronta-ronta nyeri. Bibir dan mata anak pun terdapat ruam melepuh syndrome ini. Sekujur tubuh, sampai bagian pembuangannya terdapat ruam yang perih ini. dokter spesialis anak melakukan kolaborasi dengan sokter spesialis kulit dan kelamin. Advice yang diberikan adalah melakukan kompres terbuka pada daerah ruam yang masih bergelembung berisi air. Dengan kasa steril dan cairan NS 0,9%. Kompres terbuka dilakukan selama 30 menit 3 kali sehari. Yakni kasa yang sudah lembab ditempelkan pada daerah ruam selama 10 menit, lalu dikompres ulang selama 30 menit. Saat itu perawat yang melakukan kompres, sebenarnya dilakukan secara mandiri saat dirumah pun bisa.
Kemudian dokter menginstruksikan untuk pemberian obat salep Asam Fusidat Cream pada daerah ruam 3 kali sehari. Sedangkan pada bibir diberikan salep yang berbeda *lupa nama* lalu dibagian kemaluan, karena pasien perempuan.. diberikan vaselin cream dioleskan pada labia mayora yang terdapat ruam. Tak heran jika berkemih, si adik merasa perih. Lalu konsul kembali pada dokter spesialis mata, pada mata diberikan obat tetes cendoliteers. Diberikan sehari sekali. Sedangkan untuk mencegah infeksi dari dalam, dokter spesialis anak mengintruksikan pemberian gentamicin dan dexamethason injeksi intravena untuk mencegah peradangan dari dalam. Tentu dengan dosis yang disesuaikan dengan usia dan berat badan si anak.
Perkembangannya membaik. Setelah tiga hari. Ruam yang tadinya bentol merah dan melepuh kini sudah kempes. Luka mulai mengering setelah diberikan salep. Akhirnya dokter memutuskan untuk tidak lagi mengkompres bagian luka, karena luka sudah mengering. Dibagian mulut juga sudah mulai bagus perkembangannya. Tak keluar darah lagi, ruam tak ada, hanya tinggal bagian kering. Sedangkan dimata, yang tadinya terdapat luka dikelopak mata, dan si adik sulit membuka mata kini sudah bisa membuka matanya. Matanya pun tak merah lagi. Si adik juga tadinya tak mau minum susu dan makan karena merasa nyeri di bibirnya yang tadinya ruam melepuh. Kini si adik mulai mau menyusu dengan dot dan mau makan pelan-pelan.
Melihat perkembangan pasien yang membaik, sebenarnya sisi yang paling mendukung adalah keberadaan keluarga dan kerjasama antara keluarga dan pihak medis. Ketika keluarga senantiasa aktif dan tak lupa memberikan obat kepada anak, seperti mengoleskan salep dengan telaten ini menjadi point ikhtiarnya keluarga dalam penyembuhan si anak.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
Pasien anak. Perempuan pula. Tak terbayang olehnya mendapatkan penyakit yang cukup jarang diderita. Alias penyakit autoimun. Di wajahnya terdapat ruam yang menyerupai kupu-kupu. Lupus sebernanya telah dikenal kurang dari seabad lalu. Kala itu, penyakit itu dikira gigitan anjing hutan. Dugaan itulah yang menyebabkan penyakit ini kemudian disebut lupus yang berarti anjing hutan dalam bahasa latin. Dalam perkembangan selanjutnya, lupus menyebar ke seluruh organ di dalam tubuh, maka muncullah sebutan lupus eritematosus sistemik (LES) itu. Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia produktif. puncak insidensinya usia antara 15- 40, dengan perbandingan pria dan wanita 6-10:1. Namun untuk onset dapat bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada kelompok usia ini perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Pada populasi secara keseluruhan LES mengenai sekitar 1: 2000 orang, dan bervariasi dipengaruhi jenis kelamin, ras, etnis, dan status sosial ekonomi. Di Amerika Serikat prevalensi LES sekitar 15-50 per 100.000 orang, dengan prevalensi tertinggi pada etnik African Americans. LES berkaitan erat dengan hubungan kekerabatan, frekuensinya lebih tinggi pada kerabat dekat pasien (seperti: kakak, adik, ibu). (sumber: http://aromamediskental.blogspot.com/2010/12/lupus-eritematosus-sistemik.html)
[caption id="attachment_370896" align="aligncenter" width="306" caption="sumber: Google. SLE"]
Pada anak-anak, SLE cukup mengganggu tumbuh kembang. Tidak hanya body image (penampilan) yang terganggum tapi juga tubuh si anak yang terkena SLE mengalami penurunan pertumbuhan. Misal, menjadi tak enak makan karena sakit tenggorokan saat menelan, yang ternyata disebabkan adanya ruamatau kemungkinan tumbuhnya lesi SLE pada mukosa tenggorokan.
Saat itu si anak di konsulkan pada dokter spesialis kulit, dr. Hendra,. Sp.Kk. beliau melihat kondisi anak. Dengan logat batak yang lembut. “Nak, apa yang sakit Nak?” si pasien menunjukkan ini itu.. kemudian dokter Hendra seperti memberitahu kami. disana ada aku, kakak perawat, dan para dokter muda (koas). “Dari penampilnya kita bisa lihat... rumusnya DOPAMINRASH yaitu Discoid rash, Oral ulcers, Photosensitivity, Arthritis, Malar rash, Immnunologic disorder, Neurologic disorder, Renal disorder, Antinuclear antibody, Serositis, Hematologic disorder” tutur dokter hendra sambil menulis kata tersebut dari atas kebawah.
Sang dokter menjelaskan kepada kami “Anak ini sudah ada beberapa gejala yang menunjukkan penyakitnya SLE. Kita lihat Oral Ulcers di mulut ada lesi, si anak susah menelan karena nyeri. Photosensitivity..”
“Nak, kalau lihat sinar matahari silau ndak nak?’ tanya si dokter.
“Silau banget...” jawab si anak.
Lalu Athritis, “Linu-linu ndak nak, tulangnya?”
“Iya sakit, pegal-pegal..”
“Nah sudah ada lima macam gejala yang bisa menunjukkan ini adalah SLE. Rambut juga mudah rontok..”
“Maaf ya nak, dokter pegang sedikit rambutnya...” lalu dokter melakukan pelintiran rambut secara pelan, kemudian melihat adakah rambut yang tersisa atau rontok yang ada di jarinya.
“Lihat wajahnya ruam, menyerupai kupu-kupu kan ya.. ini disebut Butterfly Rush atau Malar rash nya..”
Kemudian dokter meresepkan salep dan obat untuk mengurangi ruam dan nyeri pada si anak. Kemudian dokter menganjurkan untuk dilakukan kompres terbuka pada mulut pasien. Dilakukan selama 30 menit, dengan diganti balutan tiap 10 menitnya.
Tak berpanjang lebar. Intinya anak merupakan salah satu ujian bagi orangtuanya. Jadi jangan pernah berkata.. “Dosa apa anak ini, bisa ditakdirkan seperti ini?” jangan. Ingat, bahwa anak adalah karunia sekaligus ujian bagi kedua orangtuanya. Anak-anak seluruhnya, termasuk anak penyandang tiga huruf seperti kisah diatas.. mereka menyandang ALL, SJS dan SLE, mereka sedang tahap ikhtiar untuk kesembuhannya, begitupun orangtua mereka. Anak merupakan perantara dalam menguji umatnya yang akan menaiki tingkat keimanan. Jika anak sakit demam berdarah, orangtua intropeksi, apakah lingkungan sudah bersih dan aman dari nyamuk? Jika anak sedang sakit tipes, orangtua koreksi, apakah selama ini perhatian terhadap makanan diperhatikan? Semua itu saling berkaitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H