Mohon tunggu...
Rinta Wulandari
Rinta Wulandari Mohon Tunggu... Perawat - A Nurse

wanita muslim, senang menulis, seorang perawat, Pejuang Nusantara Sehat Batch 2 Kemenkes RI. Punya banyak mimpi. twitter: @rintawulandari Karya yang pernah di terbitkan: - Tahun 2011 menulis buku bersama empat orang teman SMA berjudul “Buku Penting SMA” (Pustaka GoodIdea Indonesia), menulis cerita anak berjudul “Pelajaran Buat Kiki” (Lampung Post), cerita anak “Hantu Toilet” ( Lampung Post )- Tahun 2013 menulis antologi kumpulan cerpen berjudul “Dakwah dan Cinta” (Pustaka Jingga), antologi kumpulan cerita anak berjudul “Pelangi untuk Ananda” ( Pustaka Jingga), antologi kumpulan cerpen horor berjudul “The Haunted Night” (Meta Kata), antologi kumpulan cerpen horor komedi berjudul “Hantu Koplak in Action” (Publishing Meta Kata), cerpen yang berjudul “Jiwa Yang Luka” menjadi nominasi cerpen Favorite oleh event LMCR Rayakultura Rohto, cerpen berjudul “Cerita Lain pada Pantai Itu” diterbitkan dikoran Dinamika News, antologi kumpulan cerpen "Ruang(tak bernyawa)" oleh Az-Zahra Publisher. Tahun 2014; Cerita Anak Kode Rahasia Dika (Lampung Post), juara 3 even Phobia (Cerpen: Darah? No!)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Thallasemia Survivor, Dibilang Pucat Seperti Tembok: “Akumah Maafin dari Awal”

4 Februari 2015   02:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:52 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dok. pribadi.. aku (seragam biru) dan mereka

Aku kembali akan bercerita. Kisah ini mungkin tentang perjuangan. Berjuang bagaimana kita berusaha, mempertahankan hidup. Sesuatu yang telah digariskan oleh Allah. Aku belajar banyak dengan semua orang. Termasuk pada orang-orang sakit yang berada di sekitarku. Lingkungan rumah sakit yang sudah tentu berisi para pesakit. Menjadi beda adalah, saat yang sakit adalah orang muda, hampir seluruhnya belum Baligh. Tidak seperti ruang lainnya yang memang sudah dewasa atau tua lalu terkena penyakit.

Setiap orang tak bisa memilih. Mau lahir dari rahim siapa, dimana, keadaan seperti apa lahirnya, wajah seperti apa. Semua itu sudah tercatat seutuhnya, di Lauhul Mahfudz. Manusia tinggal menjalani apa yang sudah digariskan, karena mengeluh dengan keadaan bukan pilihan. Tak beda dengan yang satu ini.. memiliki kelainan genetik. Semua orang pasti menginginkan normal dan menjalani hidup seperti manusia pada umumnya. Namun tak dipungkiri, ternyata diantara kita ada yang memiliki keistimewaan. Mendapatkan kelainan dalam darahnya. Thallasemia. Sudah sering sekali aku posting berbagai hal mengenai Thallasem.

Aku kurang lebih mengenal mereka, pasien yang memang rutin tranfusi darah, bulak-balik. Mereka butuh darah untuk men-charge tenaga mereka. Memastikan oksigen mereka terpenuhi keseluruh tubuh. Kadar haemoglobin yang rendah menandakan mereka harus tranfusi darah. Jika tidak mereka akan pucat sekali, lemah dan bisa mejadi komplikasi dalan tubuhnya.

Ada seseorang yang ku kenal cukup baik. Usianya 18 tahun. Sebut saja Tri. Gadis remaja yang wajahnya terlihat masih anak-anak atau awet muda ini. jika HB nya rendah. Mulai terlihat perbedaannya wajah mereka pucat. Kulitnya terlihat jaundice, sklera mata mulai ikterik (kuning). Semasa ia tranfusi, aku sering mengobrol dengan mereka. mengobrol berbagai hal.

Mengobrol, pertama kali ia terkena Thallasemia. Ia berkata pertama kali tranfusi datah saat usianya 3 tahun. Saat itu diagnosanya masih anemia. Lalu hidupnya berjalan seperti biasa. Tanpa keluhan. Bisa main tak terbatas. Sampai 6 tahun kemudian, ia drop. HB nya hanya 2. Tranfusi darah membuatnya segar kembali. Begitu seterusnya, tiap sebulan minimal sekali ia harus tranfusi darah dengan kebutuhan HB yang dibutuhkan tubuhnya.

Tri usianya 18 tahun, tubuhnya mungil, tulangnya kecil, terlihat jelas, namun semangat dan kreatifitasnya besar sekali. Ia sempat cerita juga, bahwa ia pernah SMK ambil jurusan komputer. Sempat menang lomba juga. Tapi akhirnya terhenti dari SMK, karena sakitnya. Teman-teman sudah mengetahui sakitnya Tri. Dahulu juga sejak sekolah SD-SMP orangtua Tri selalu bilang ke pihak sekolah mengenai sakitnya Tri. Bukan karena ia ingin semua orangtua, tapi agar ia dimaklumi untuk tidak mengikuti pelajaran yang menyangkut fisik, seperti olahraga. “Bu, anak saya tolong tidak usah diikutkan di pelajaran olahraga lapangan ya bu.. anak saya sakit. Sakitnya Thallasemia bu... Apa itu Thallasemia, Pak?......... Ibu cari saja sendiri di internet, disana banyak penjelasannya Bu...” Ucap Tri menirukan pembicaraan antara ibu dan gurunya di sekolah.

EJEKAN.Tri sangat sering mengalaminya. Ejekan yang paling ia ingat adalah, ucapan seorang teman lelaki yang mengejeknya terus menerus. Karena wajahnya pucat.. “Aku inget banget mbak,, ada temenku yang ejek aku.. ‘dasar penyakitan, mukanya pucat kaya tembok!’ terus aku diem aja gak nanggepin. Kata ibuku, kalau ditanggapin malah makin jadi..dia juga pernah bilang, orang yang penyakitan, pucat cepet meninggalnya.. Eh 3 tahun kemudian, dia sakit. Terus yang ngejek aku meninggal...” Ungkap Tri.

“Meninggal? Kok bisa? Kenapa Tri?” tanyaku penasaran.

“Iya, dia itukan tinggal di rumah neneknya. Kurang kasih sayang dari orangtua mbak. Dia kena tipes, terus meninggal.. sebelumnya dia pernah minta maap sama aku, sebelum dia masuk RS. Dia bilang minta maaf kalau ada salah... ya akumah maapin dari awal kok..” ungkap Tri lagi.

Setiap obrolan kami nikmati. Tentu dengan bumbu manfaat. Motivasi. Mungkin tak pantas bagiku yang belum ada apa-apanya ini memberikan motivasi. Jangan bilang motivasi deh, paling tidak semangat. Aku tak pernah merasakan menjadi seorang Tri, merasakan punggung tangan diinfus dan dialiri darah oranglain. Namun setidaknya, ada pesan positif yang bisa aku ucapkan, sekedar semangat. Tri sosok yang bersemangat. Semangatnya yang utama adalah.. untuk orangtuanya. Karena Tri merasa, orangtuanya sudah banyak sekali berkorban untuknya. Untuk kesembuhannya, waktu orangtuanya tersita karena dirinya yang harus rutin tranfusi. Walaupun aku melihat sendiri, seperti tak ada beban pada ibu Tri yang senantiasa menemani anaknya ini. Selalu ada sinar harapan dimatanya. Mata seorang ibu yang percaya bahwa anaknya harus diperjuangkan bagaimanapun keadaannya.

Sosok yang selalu menginspirasi seorang Tri adalah.. sosok Penulis Pipiet Senja. Beliau juga memiliki penyakit yang sama dengan Tri, Thallasemia. Namun ia bisa menjalani harinya dengan enjoy hingga nenek-nenek. Memiliki banyak cucu, bisa berkeliling dunia dan menulis puluhan buku. Ya, seorang novelis kenamaan itu, sangat menginspirasi Tri. Aku pernah bertemu Bunda Pipiet Senja di sebuah acara dari Forum Lingkar Pena. Luarbiasa semangatnya, baginya, buku dan menulis adalah obat mujarab bagi dirinya. Bunda Pipiet Senja hingga kini senantiasa sehat, Duh Bunda Pipiet tetap sehat ya, selalu jadi inspirator para Thallasemia Survivor lainnya : ) Ayah Tri sering menunjukkan berbagai kisah perjalanan hidup Teh Pipiet Senja dari internet ataupun majalah, “Jadi Mbak, kalau aku gak semangat, ayahku pasti ingetin aku untuk ingat sosok Pipiet Senja yang selalu semangat dan kuat..”

Menjadi pasien tetap yang secara continue harus tranfusi darah, membuat Tri kenal dengan seluruh isi ruangan. hafal dengan seluk beluk administrasi, sampai menjalani pertemanan yang sangat hangat dengan thallasemia survivor lainnya. Tri jadi memiliki banyak teman, Tri menyadari bahwa ia tak sendiri, ada puluhan Thaller Survivor yang terus berjuang. Mendapatkan tranfusi darah.

Tri kenal semua perawat yang selalu ada di ruang thallasemia. Kak Adrian yang selalu ada di ruangan thallasemia. Ada mahasiswa perawat yang membantu juga. Ada pula para dokter muda dengan jubah putihnya. Beberapa minggu sekali biasanya ada mahasiswa perawat yang melakukan terapi bermain. Ini fungsinya untuk membuat mereka merasa nyaman dan tak bosan di rumah sakit. Tri juga senang membaca dan menulis. beberapa waktu lalu, sebelum aku bekerja di rumah sakit ini, aku pernah datang kesini menyalurkan donasi buku dari teman-teman kampus. Waktu itu juga sempat minta salurkan buku dari sebuah penerbit, walaupun belum di respon hehe. Waktu aku masih mahasiwi keperawatan tingkat 3, Fitri badannya masih sehat banget. Itu tahun 2014.

Saat aku sudah menjadi perawat di RS ini juga, Tri msih ingat sama aku. Walaupun memang dia tak terlalu ingat nama, tapi ia bilang pernah liat aku sama dokter Nora. Aku kenal Tri juga dari Kak Nora. Ia merupakan salah satu dokter muda yang selalu diingat oleh para Thaller. Salah satu dokter muda yang paling fokus menangani mereka, apalagi orangtua salah satu Thaller lain, sebut saja Mara. Ibunya Mara sering menanyaiku mengenai keberadaan dokter Nora. Yang ibu itu tau, dokter Nora paling bisa diandalkan saat dirinya mengurusi administrasi anaknya. Ia membacakan buku cerita, bermain-main dan mengobrol dengan para Thaller.. “Baik banget dokter itu.. sekarang dia dinas dimana ya, Sus?”. Aku menjawab senyum sambil bilang.. “Dia lagi persiapan ujian bu.. nanti kalo udah kelar ujian dia kesini lagi, jadi dokter spesialis..” jawabku polos, hehe. Dukung seratus persen Ka Nora ambil spesialis anak bagian penyakit darah deeh : )

Tri orang yang sangat kreatif. Ia memang harus putus sekolah, dan berhenti sampai kelas 2 SMK. Berhenti karena sakitnya. Makin hari kebutuhan tranfusinya semakin besar. Waktunya cukup tersita untuk bulak-balik rumah sakit. Yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Saat kebutuhan darahnya sudah terpenuhi, ia dirumah. Menjalankan aktivitas ringan. Seperti membuat kerajinan tangan. Perca atau flanel. Ia ingin memiliki usaha pembuatan pin jilbab dari flanel, atau bunga dari kerajinan tangan lainnya. Aku sepmat kecipratan, mendapat dua pin bunga cantik dari Tri.. “Mbak, ini untuk mbak...”

14229668241829233845
14229668241829233845
dok.pribadi. kreatif ya. foto ini dikirim oleh Tri sendiri kepadaku via BBM. karya tangan yang bagus :)

“Ha? Enggak ah Tri, kamu buat ini susah-susah. Berapaan ni? Aku beli aja ya..”

“Ih enggak, ini untuk mbak Rinta. Anggep aja ini sebagai ucapan Terimakasih aku ke mbak...”

“Hmm emang berapa ni Tri kalau harga jual?”

“Kalau di jual sih harganya 7 ribu satu mbak..” aku mengeluarkan lembaran dari kantungku. “Enggak, ini untuk mbak aja. Beneran deh, bawa ya mbak...”

Oke, akhirnya aku terima karya cantik dari Tri ini, pin dengan perpaduan warna yang menarik, walau sedikit mencolok. Aku sangat menghargai karya nya. Bagus. Ia berbakat dengan ketekunannya dalam bidang kerajinan tangan ini. beberapa hari kemudian, via BBM ia meminta tolong padaku, agar jika aku ke toko buku, ia ingin menitip buku tips membuat karya dari flanel atau rajutan. Aku telah meng-iyakan. Namun aku belum sempat-sempat ke toko buku. Sama sekali belum sempat.

Beberapa hari kemudian, aku makin sering ketemu Tri di ruangannya. Sedikit-sedikit, Tri harus tranfusi darah. Baru 3 hari dirumah, Haemoglobin Tri tinggal 3 atau 2 saja. itu tandanya ia harus segera tranfusi darah. Makin hari kondisinya menurun badannya kuning sekali, hampir menghijau. Pengaruh sakitnya. Perut Tri seperti Thaller lainnya memang membesar karena limpanya membesar akibat tranfusi darah yang terus menerus. Kondisinya menurun drastis.

Aku sangat sedih melihat Tri. Ia makin lemah. Berbagai keluhan dirasakan. Hal yang membuat Tri kesakitan. Sampai akhirnya, entah kenapa ada perasaan kuat yang mendorongku untuk segera pergi ke toko buk sebelum dinas sore hari itu. mencari buku pesanan Tri waktu itu. aku ke Rumah Sakit lebih cepat. Segera ke ruang Thallasemia. Tri terlihat makin melemah. Tri masih bisa bicara jelas, walau tubuhnya makin jaundice. Aku memberikan dua buku itu saat Tri bangun tidur. “Apaan nih mbak?”

“Ini buku pesanan Tri... ini ambil aja Tri..” aku segera ke ruangan anak sebelahnya. Karena Tri memang harus istirahat dengan kondisinya yang menurun seperti itu. aku merasa lega, karena janji telah terpenuhi. Alhamdulillah.

Namun, keesokan harinya, saat aku jaga dinas shift malam. Kabar itu datang, kabar duka. Tri meninggal. Ia mengalami perdarahan, karena diagnosanya makin meningkat jadi anemia hemolitik. Saat aku sampai di ruangan, aku sungguh tak menyadari apa yang terjadi malam itu. aku melihat orang ramai disana. Saat sampai di ruang perawat, baru aku mendapat kabar bahwa itu Tri. Ia meninggal dunia malam itu.

Sedih pastinya. Seketika aku BBM kak Nora. Ia juga sangat mengenal Tri. Dihari sebelumnya Ka Nora sempat bertemu Tri, hari sebelum keberangkatannya ke Jakarta menuntut ilmu. Ternyata itu pertemuan terakhir Tri dengan Ka Nora. Tri meninggal dengan damai. Menyisakan semangat yang terus terngiang. Begitupun bagi Thaller lainnya. Tri telah menghadap sang Pemilik alam semesta. Tri telah menuntaskan tugasnya sebagai manusia. Ia telah siap, usahanya telah optimal. Tri mengakhiri tugasnya sebagai Thaller Survivor dengan kenyamanan. Tri, semoga segala sakitmu sebagai penggugur dosamu ya Tri. saat itu aku melihat ibumu cukup sedih, namun tetap ada ketegaran dimatanya. Sebelum meninggalkan ruangan dan membawamu, ibumu sempat ke ruangan perawat Tri.. beliau bilang..”Maafin Tri kalau ada salah ya mbak.. makasih atas perawatan dan bantuannya selama ini untuk Tri....” serentak kami menjawab dengan nada duka. “Iya bu, Tri gak ada salah sama kami, kami turut berduka cita ya bu...” : (

Selalu bahagia di SANA ya Tri :”)



Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan [yang sebenar-benarnya]. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.

(QS.21 Al-Anbiya:35)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun