Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cara Rocky Gerung Menyampaikan Kritik dengan "Merevisi Isi Kepala"

17 Februari 2021   12:53 Diperbarui: 17 Februari 2021   13:06 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menanggapi niat Presiden Jokowi yang berencana meminta DPR untuk merevisi Undangan-undang ITE terutama pasal-pasal karet yang dapat ditafsirkan sepihak sehingga tidak memberikan keadilan, 'filsuf' Rocky Gerung melalui chanel YouTubenya mengatakan:

"Jadi sekali lagi, yang musti direvisi adalah isi kepala Presiden sebagai kepala negara. Karena beliau salah mengartikan demokrasi. Kan selalu mau masukan orang kritis ke dalam kekuasaan, itu yang mestinya direvisi. UU ITE itu sebenarnya bungkus saja dari isi politik yang anti oposisi"

Jadi jika Wakil Presiden ke-10 dan 12 (2 periode) Yusuf Kalla bertanya bagaimana cara menyampaikan kritik agar tidak dipolisikan maka tanyalah bagaimana Rocky Gerung tetap aman-aman saja hingga hari ini sekalipun selalu asbun alias asal bunyi.

Saya tidak tahu apakah kalimat "... yang musti direvisi adalah kepala presiden..." disebuah negara demokrasi termasuk sebagai kritikan atau hujatan tetapi bagaimanapun perkataan seperti itu pasti merupakan ekspresi dari "ketidaksukaan".

Dan kalau rasa tidak suka sudah akut maka akan sulit bagi seseorang itu untuk berbicara obyektif tetapi akan selalu subyektif dan orang seperti itu mau tidak mau pasti akan kehilangan akal sehat. Akan sulit bagi orang seperti ini menamakan dirinya oposisi karena memang bukan.

Okelah jika atas nama demokrasi kita tidak mau terlalu kaku dibelenggu dengan batasan "sopan-santun" dalam berbicara tetapi tidak harus brutal juga, bukan? Manusia beradab pasti mampu membedakan baik-buruk dan patut-tidak patut.

Bukan karena sekarang presidennya, Jokowi, tetapi siapapun yang menjadi presidennya kelak, masyarakat harus mengetahui perbedaan kritik dan hujatan serta mengetahui batas-batas kritikan.

Bukan dengan alasan demokrasi lantas setiap orang bebas berbicara sesuka hatinya. Tetapi ada batasan-batasan yang secara otomatis seseorang itu pasti mengetahuinya atau yang disebut nurani.

Kita tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti atas alasan demokrasi dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat, anak-anak bebas berbicara sesukanya kepada orang tua dan orang tua juga bebas memaki anaknya. Demikian juga rakyat bebas menghujat pemimpinnya dan pemimpinnya bebas memaki rakyatnya, akan jadi apa negeri ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun