Awalnya Partai Gerindra yang menduduki 73 kursi di DPR-RI dan mengantongi 11,81 persen suara nasional, sepakat membentuk koalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memiliki 40 kursi di DPR-RI dan 6,79 persen suara nasional.
Dari awal Partai Gerindra dan PKS sepertinya juga sudah sepakat mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres, dan PKS pun meminta jatah Cawapres. Gerindra pun pasti setuju dengan permintaan itu dan sama sekali tidak mempermasalahkannya. Dan saya pikir hal itu sesuatu yang sangat wajar dan masuk akal.
Tak tanggung-tanggung, PKS pun menawarkan 9 nama kadernya untuk dipilih Prabowo sebagai wakilnya. Mereka adalah Ahmad Heryawan, Irwan Prayitno, Sohibul Iman, Salim Segaf Al Jufri, Tifatul Sembiring, Muzzamil Yusuf, dan Mardani Ali Sera.
Apakah sebagai bentuk dukungan dan upaya mencari perhatian, Mardani Ali Sera pun gencar mengkampanyekan #2019GantiPresiden melalui media sosial Twitter, Facebook, WhatsApp dan juga dengan mencetak kaos dengan tanda tagar tersebut lalu menjualnya secara langsung ke kota-kota di Indonesia.
Ketika hubungan Gerindra dan PKS sedang mesra-mesranya tiba-tiba Partai Amanat Nasional (PAN) yang mempunyai 49 kursi di DPR-RI dan mengantongi 7,59 persen suara nasional, melalui Ketua Dewan Pembinaannya Amien Rais menawarkan diri untuk bergabung dengan "Koalisi Keumatan" yang dihuni oleh "Partai Allah".
Tentu saja Gerindra dan PKS menyambutnya dengan gembira dengan syarat jatah Capres tetap dari Gerindra dan jatah Cawapres tetap dari PKS. Tetapi nampaknya PAN keberatan dengan "dogma" tersebut karena mereka memiliki 9 kursi lebih banyak dari PKS, dan sepertinya mereka menganggap lebih berhak untuk mendudukkan Zulkifli Hasan sebagai Cawapres.
Tetapi dipertengahan diketahui bahwa Amien Rais ternyata masih menyimpan ambisi yang kuat untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Amien beralasan bahwa dirinya kembali merasa remaja setelah kemenangan Mahathir Mohamad sebagai Perdana Menteri Malaysia pada usianya yang ke-92 tahun.
Tentu saja basa-basi Amien Rais tersebut dianggap terlalu mengada-ada dan sebagai bentuk akal-akalan atau mungkin lebih mirip lelucon yang tidak laku. Gerindra dan PKS pasti tidak mau merelakan jatah Capres atau jatah Cawapres ke Amien Rais atau kepada kader PAN lainnya.
Dan belakangan yang paling menghebohkan adalah ketika Partai Demokrat yang memiliki 61 kursi di DPR-RI dan mengantongi 10,19 persen suara nasional menyatakan diri berkoalisi dengan Partai Gerindra.
Kehadiran Partai Demokrat dalam koalisi seharusnya menjadi menambah energi baru dari segi suara dan logistik. Tetapi tidak bagi PAN dan khususnya PKS. Kehadiran Partai Demokrat yang memiliki kursi lebih banyak secara hitung-hitungan politik lebih berhak atas kursi Cawapres.
Dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) tiba-tiba mengeluarkan Ijtima Ulama yang merekomendasikan Salim Segaf Al Jufri dan Ustadz Abdul Somad sebagai Cawapres Prabowo. Hal tersebut diperkirakan agar Prabowo tetap pada kesepakatan awal, memilih kader PKS sebagai Cawapres. Itupun hanya jika Ustadz Abdul Somad dianggap sebagai kader PKS.