Polemik pemberian Pekerjaan Rumah (PR) kepada siswa terus berlanjut di dunia maya maupun di dunia nyata.Â
Hal tersebut bermula ketika langkah Pemerintah Daerah Purwakarta untuk menghapus PR akademis untuk siswa pada tahun 2016 diapresiasi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Efendi.
Bahkan Muhadjir ingin meneruskan langkah Pemerintah Daerah Purwakarta tersebut menjadi aturan pendidikan nasional.Â
"Kebijakan itu (Pemda Purwakarta) saya dukung. Sudah saya sampaikan di beberapa tempat juga. Jadi, saya pengin nantinya Lembar Kerja Siswa (LKS) juga nggak boleh ada lagi. Saya ingin pendidikan tuntas di sekolah. Murid nggak boleh bawa pekerjaan rumah. Bawa bacaan boleh, itu bagus, tapi kalau malah jadi beban, ya nggak boleh," papar pak Muhadjir. (TRIBUNNEWS.COM, 6/10/2016).
Demikianlah polemik tentang pemberian PR itu terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada awal tahun pelajaran baru 2017/2018. Beberapa media massa nasional menulis dengan judul: "Ingat, Mulai Januari 2018 Pemberian PR Kepada Siswa Resmi Dihapuskan".Â
Ini ibarat sebuah ultimatum perang yang jika dilanggar bisa berakibat fatal. "Surat Edaran resmi dari Kemendikbud akan segera dikirimkan ke setiap Dinas Pendidikan Provinsi untuk diteruskan ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan selanjutnya ke sekolah-sekolah. Ini sifatnya sangat urgen!", kira-kira demikian terjemahan bebas tulisan selanjutnyanya.
Tidak sedikit orang tua dan pemerhati pendidikan yang setuju penghapusan PR di sekolah dan benar-benar direalisasikan secepatnya. Dan kebanyakan diantara siswa menganggap aturan tersebut sebagai angin segar untuk terbebas dari "penjajahan" PR yang selama ini dianggap sudah merampas kebebasan mereka.
Beberapa alasan yang di ungkapkan beberapa orang tua dan pemerhati pendidikan adalah, PR cenderung "menyiksa" siswa. sementara manfaat PR itu sendiri dari segi "keterpakaian" dalam kehidupan sehari-hari dianggap kurang menyentuh.Â
"Yang lebih penting kan diajari sopan santun dan tata krama. Itu jauh lebih berharga daripada hanya sekedar dapat berhitung", tulis seorang warganet. Mungkin maksudnya, penekanan pendidikan itu lebih ke arah karakter saja daripada pengetahuan kognitif.
Ada lagi warganet yang beranggapan bahwa tingkat kesulitan PR itu sudah terlalu tinggi dan dianggap tidak sesuai lagi dengan jenjang dan kelas anak tersebut. "Masa iya, anak kelas 3 SD sudah disuruh menghitung debit air?", kira-kira demikian keluhan seorang orang tua murid.
Ada lagi yang membanding-bandingkan pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di Finlandia. Menurut berita, sekolah di Finlandia tidak memberikan PR kepada siswanya tetapi mereka justru pintar-pintar, bahkan menduduki peringkat nomor 1 di dunia.