Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah dalam Sebatang Pensil

16 Februari 2018   12:16 Diperbarui: 16 Februari 2018   12:29 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa saat kemudian, sayup-sayup dari pondok aku mendengar seperti suara amangboru. Cepat-cepat aku bergegas memastikan apakah amangboru sudah tiba dari perjalanan jauhnya. Ternyata benar, amangboru sudah tiba. Tapi apakah amangboru ingat membeli pensilku? Aku kwatir.

Melihat aku datang, amangboru menyambut aku dengan tertawa; "Ini tulang pesananmu", katanya dengan riang. "Belum diraut, raut saja nanti dengan pisau", tambahnya. Seakan tak percaya aku mengambilnnya dan setelah mengucapkan terimakasih, aku kembali ke pondok kami memberitahukan hal tersebut kepada mama. "Ya sudah, sekarang kerajakan PR mu, mumpung masih terang. Ingat setiap masalah ada jalan keluarnya", kata mama.

Itulah sepenggal kisah yang tak terlupakan dengan amangboru J. Nababan. Dan kisah itu sama sekali tidak mungkin bisa terulang kembali. Sama sekali tidak. Itulah yang terakhir untuk selamanya.

Sekarang amangboru J. Sihombing Nababan telah tiada. Terakhir kami ketemu tahun 2011 ketika kami pulang ke kampung halaman. Kami sempat bercerita panjang lebar tentang pahit-manisnya kehidupan. 

Ketika kami akan pulang ke Tanjungpinang, beliau masih di aek godang. Tapi rupanya dia mengejar kami sampai ke Banjar untuk menyalam kami, aku, istriku dan anak-anakku. 

Rupanya itulah pertemuan kami yang terakhir setelah beberapa tahun kemudian kami mendengar beliau telah pergi menghadap Bapa di Surga untuk selamanya di Pekanbaru dan dikebumikan di Siborong-borong.

Selamat jalan amangboru boru, aku tidak pernah melupakanmu. Tidak hanya karena kisah sebuah pensil, lebih banyak lagi hal-hal yang tidak terlupakan. Terlebih setelah kita bertetangga. Sebenarnya banyak hal yang harus kita bicarakan. Tetapi Tuhan lebih menyayangimu.

Sekalipun cita-citaku menjadi seorang Jenderal tidak tercapai, tapi saya sekarang sudah menjadi seorang guru. Sebuah cita-cita yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku menyebutnya "garis tangan"

Semoga rencana kami pangaratto martaon baru di kampung dapat terwujud, dan kasatuan hati kami kelak akan dapat "melahirkan" banyak jenderal yang akan membangun kampung kita ini dari keterpurukan.

Sampai jumpa di kekekalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun