Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pasal Penghinaan Presiden untuk Siapa?

9 Februari 2018   19:03 Diperbarui: 10 Februari 2018   07:15 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah"Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963
Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi"
 
disahkan pada tanggal 19 Mei 1999 pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie maka Undang-undang No. 11/PNSP/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi secara sah dinyatkan tidak berlaku.

Undang-undang Subversi yang telah diterapkan sejak tahun 1963 tersebut dianggap merupakan undang-undang yang selalu mencurigai setiap orang yang vokal terhadap pemerintah dan rentan digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang tidak disenangi oleh pihak penguasa sehingga undang-undang ini dianggap merusak tatanan demokrasi dan melanggar hak azasi manusia.

Melihat perkembangan demokrasi di Indonesia sejak era reformasi yang dianggap sudah kebablasan khususnya dalam hal penghormatan terhadap simbol-simbol kenegaraan maka usulan untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) muncul kembali sejak masa pemerintahan SBY.

Kemunculan pasal penghinaan presiden di RKUHP menuai pro-kontra dalam masyarakat lantaran sebelumnya melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.

Pemberlakuan pasal ini dianggap sebagai kemunduran demokrasi karena seakan-akan mensakralkan jabatan presiden dan mengkultuskan presiden sebagai orang yang anti kritik. Lagi pula presiden dianggap bukan sebagai simbol negara tetapi hanya orang yang berganti setiap periode.

Apabila pasal ini juga tetap akan dibahas dan disahkan maka dikuatirkan akan rentan disalahgunakan seperti undang-undang subversi sebelumnya yaitu untuk menjerat orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah sehingga pemerintah tak ubahnya seperti penjajah. Dan tentu saja pasal ini pasti akan diajukan kembali ke MK untuk dialakukan uji materi.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pasal penghinaan presiden ini perlu tetap dibahas dan disahkan dalam RKUHP?

Menurut saya sangat perlu, khususnya pada masa-masa sekarang dimana demokrasi kita masih amburadul. Negara kita adalah negara yang beradab yang saling menghormati satu sama lain tanpa memandang kedudukan atau jabatan, tak terkecuali presiden.

Presiden boleh dikritik dan harus selalu diingatkan. Tetapi bukan untuk dihina atau dihujat. Bukan untuk difitnah dan dijelek-jelekkan dengan cara apapun dan melalui media manapun. Bukan untuk photonya diedit sembarangan, diinjak-injak atau dilecehkan sesuka hati, termasuk keluarganya.

Siapapun presidennya kelak, apakah pilihan kita atau pilihan orang lain, tetapi bila beliau dinyatakan menang dan sah secara hukum maka beliau adalah presiden seluruh masyarakat Indonesia dan wajib dihormati. Tentu saja boleh dikritik tetapi bukan dengan cara-cara yang tidak beradab dengan menghina, menghujat, memfitnah dan menjelek-jelekkannya sesuka hati. Sama sekali itu bukan demokrasi tetapi ulah orang-orang di masa jahiliah yang tidak berpendidikan dan tidak beragama.

Sekali lagi apakah pasal penghinaan presiden perlu dibahas dalam RKUHP dan selanjutnya disahkan menjadi KUHP?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun