Zaadit Taqwa adalah seorang intelektual muda Indonesia yang enerjik. Beliau terhitung sebagai salah satu mahasiswa di kampus nomor satu di negeri ini, Universitas Indonesia (UI).
Tidak hanya pintar di bidang akademik. Zaadit juga pasti hebat dalam berorganisasi. Beliau adalah seorang organisatoris yang "visioner" yang mempunyai penglihatan jauh ke depan. Kemampuannya dalam melobi, menyusun program, berbicara dan berpidato dengan gaya yang persuasif tak perlu diragukan lagi.
Itulah mungkin salah satu alasan mengapa beliau mendapat kepercayaan dari suara mayoritas, terpilih menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM-UI) tahun 2018 dengan jumlah mahasiswa 47.000 orang lebih.
Di kampusnya UI, Zaadit pasti sudah terkenal dan dikenal banyak orang. Banyak mahasiswa lainnya ingin bertemu dengannya, sekedar berjabat tangan kemudian mengobrol sepatah dua kata. Terutama mahasiswi yang cantik-cantik dan bening, tentulah berlomba dan berusaha menarik perhatian sang Ketua BEM, agar dijadikan sahabat gitu...
Tetapi di Indonesia Zaadit belum terkenal dan populer. Bahkan di kalangan mahasiswa di kampus lain di seantero Nusantara. Wartawan dan warganet pun tidak banyak yang mengenal Zaadit. Mereka tahunya hanya Universitas Indonesia, sedangkan Ketua BEM bergan-ganti sesuai masa jabatan. Terlalu ribet untuk mengingatnya.
Padahal menjadi terkenal dan populer itu adalah sebuah modal besar. Bang Ruhut Sitompul mengatakan bahwa hal tersebut adalah sebuah modal utama untuk terpilih menjadi anggota DPR. "Kalau sudah dikenal sangat banyak orang maka biaya kampanyenya semakin berkurang". Kira-kira begitu kata bang Ruhut sehingga beliau rela menjadi "Poltak si Raja Minyak Makan dari Medan" dalam sinetron "Gerhana".
Tidak hanya itu, artis-artis muda pun berusaha membuat sensasi untuk terkenal. Bahkan dengan cara-cara yang tidak elegan dan "murahan". Dan artis-artis tua pun tak mau ketinggalan, ikut membuat settingan hanya untuk mempertahankan eksistensinya sebagai selebritis. Betapa berharganya keterkenalan dan kepopuleran itu.
Momen inilah yang dimanfaatkan oleh Zadiit. Beliau dengan otak cerdasnya ingin terkenal. Tak tanggung-tanggung beliau ingin menjadi pahlawan super bersenjata "kartu kuning". Beliau ingin membela rakyat kecil yang mengalami gizi buruk di kabupaten Asmat karena "ditelantarkan" Jokowi. Hanya dengan bermodalkan "kartu kuning". Sebuah ide brilian yang tidak terpikirkan oleh mahasiswa UI lainnya.
Ketika Presiden Jokowi hadir sebagai undangan kehormatan pada acara Dies Natalis UI yang ke-68, Zaadit telah menyusun sebuah skenario yang sensasional. Selepas Presiden Jokowi selesai berorasi, beliau meniup peluit layaknya "Pierluigi Collina" wasit Seri A kemudian mengangkat buku panduan suara bersampul kuning sebagai simbol kartu kuning.
Dan hasilnyapun sungguh luar biasa. Dalam hitungan jam, peristiwa tersebut menjadi viral hampir di semua media di Indonesia dengan judul dan tanggapan yang beragam.
"Jokowi mendapat kartu kuning dari UI" kira-kira begitu judul berita yang paling populer. Tentu saja "wasitnya" adalah Zaadit "pahlawan super" dengan senjata khadny. Ada 3 tuntutan beliau dan nomor satu adalah masalah gizi buruk di kabupaten Asmat. Beliau ingin menjadi pahlawan bagi kabupaten Asmat, menjadi pahlawan bermodal kartu kuning.