Setelah Malaysia mengklaim: tari pendet, tari tor-tor, reog ponorogo, lagu rasa sayang-sayange, rendang, dsb. sebagai aset warisan budaya mereka, nampaknya para sineas, animator dan rumah produksi di Indonesia, khususnya yang membidangi filem animasi untuk anak-anak, benar-benar kebakaran jenggot.
Pasalnya serial "Upin & Ipin", "Pada Zaman Dahulu" dan "Boboiboy" yang nota bene merupakan animasi produksi Les' Copaque Malaysia, benar-benar "merampok" minat hampir seluruh penonton di Indonesia, tidak hanya kelompok usia anak-anak tetapi juga remaja bahkan dewasa, benar-benar keranjingan menyaksikan animasi yang sarat dengan "pengajaran" ini, sekalipun sudah ditayangkan berulang-ulang ratusan bahkan mungkin ribuan kali sejak dirilis tahun 2007.
Sama seperti di era 90-an, "Satria Baja Hitam" asal Jepang menyihir penonton kelompok usia anak-anak dan remaja di Indonesia, lalu rumah produksi Indonesia menjawabnya dengan "Satria Indonesia", yang kwalitas, jalan cerita dan gambarnya menurut saya jelas-jelas sangat tidak sebanding.
Demikian juga ketika " Upin & Ipin" yang merajai animasi anak-anak tanpa "rival" yang berarti, maka "Sopo & Jarwo" mencoba "menyerang" dan berharap dapat meruntuhkan kejayaan animasi asal Malaysia tersebut sekaligus merebut kembali hati penonton Indonesia dengan menayangkannya secara bergantian di stasiun televisi yang sama "MNCTV".
Tetapi apa lacur, sepertinya membandingkan kedua animasi ini akan terkesan konyol. Seperti animasi profesional dengan animasi amatiran, seperti serius dan main-main. Dari aspek "pengajaran" maupun kwalitas gambar , sepertinya "Upin & Ipin" menang dengan skor telak.
Ketika "Upin & Upin" mengajarkan dan menanamkan makna persahabatan yang "pluralis" antara karakter: Upin-Ipin, Ma'il, Mei-Mei, Jarjit, Raju, Susanti, Opa, Atok, Uncle Mutu, Uncle Atong, yang berbeda suku dan keyakinan, "Sopo & Jarwo" justru mendiskreditkan karakter Jarwo yang selalu menjadi bahan ejekan dan tertawaan (jika hal itu dianggap lucu) serta mengkultuskan "Adit" dan "pak Haji" yang serba tahu.
Persahabatan antara Jarwo dan Sopo juga tidak menggambarkan kesetaraan, karena Sopo selalu terkesan "dibodohi", sementara ketakutan Denis kepada Jarwo juga terkesan dipaksakan agar karakter Jarwo makin "buruk" dan serba salah. Kalimat yang diulang-ulang Ucup: "Kalau tak percaya, tanya aja sama pak haji!" juga merupakan pengkultusan yang seharusnya tidak terlalu perlu karena pak haji juga tidak harus tau segalanya.
Kata-kata "sugesti" yang diajarkan Adit ke Denis juga sangat berbahaya dan menyesatkan. Bayangkan jika seorang anak-anak yang takut berenang di tempat yang dalam, kemudian seorang temannya yang lain berkata: "Tutup mata kamu lalu bayangin saja kamu itu pahlawan super yang pandai berenang kemudian loncat!" Apa yang terjadi kemudian, silahkan bayangkan sendiri.
Sebenarnya keragaman budaya Indonesia jauh lebih kaya dari Malaysia. Sumber daya manusia Indonesia, penulis cerita, sastrawan, animator, dsb. juga tidak kalah dengan Malaysia. Tetapi rumah produksi perfileman Indonesia yang telah lama dimonopoli oleh dinasty "Punjabi" sepertinya hanya akan menghasilkan sinetron-sinetron sekelas "Anak Jalanan" dan "GGS"
Semoga kedepan terjadi keajaiban dalam industri perfileman Indonesia sehingga kita dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan mampu melahirkan serta "menjual" karya kreatif anak bangsa ke negara lain termasuk ke Malaysia. Seperti drama Korea dan drama Filipina yang telah sukses merambah pasar Asia bahkan dunia.
salam...!