Sebenarnya sudah lama saya bermaksud menuntaskan cerita ini tetapi seperti kata pepatah "maksud hati memeluk gunung tetapi apa daya gunungnya meletus". Maksud hati ingin menuntaskan cerita, eh jaringan pula yang telolet dan ide-ide dalam kepalapun sering buyar.
Terlepas dari "tulang" yang sering dianggap kontroversial dengan sebutan: teroris, kafir, penjahat perang, pelanggar HAM, diktator, tak bermoral, biadab, dsb, tetapi tetap saja banyak hal yang perlu dan harus di pelajari dari tulang.
Julukan- julukan negatif tadi tak sepenuhnya benar tetapi sarat dengan kepentingan, iri hati, politik, ideologi, dsb. Buktinya semakin tulang dibenci, semakin banyak saja diantara mereka yang rindu berkunjung ke rumah tulang.
Salah satu hal yang sangat perlu dipelajari dan dicontoh dari tulang adalah ketika pemilihan kepala pemerintahan di rumah tulang tiba. Kehebatan rumah tulang menuntut harus mendapatkan pemimpin yang super hebat pula. Untuk itu perlu seleksi yang super ketat. Pertama-tama diadakan penjaringan bakal calon dalam internal partai yang dilanjutkan dengan konvensi untuk mendapatkan satu calon dari setiap partai.
Di rumah tulang hanya ada 2 partai karena mereka sadar partai itu sebenarnya tak perlu banyak. Sekalipun pembatasan banyaknya partai tak pernah ada tetapi mereka sadar bahwa keberadaan partai yang banyak itu mengganggu kelangsungan demokrasi.
Berbeda dengan di Indonesia, partai yang banyak dan gonta-ganti sering dianggap sebagai simbol demokrasi. Tetapi menurut saya itu sebenarnya hanya upaya memuaskan syahwat politik dari keinginan untuk berkuasa.
Bagian paling menarik dan paling ditunggu-tunggu seluruh dunia dari tahapan pemilihan kepala pemerintahan di rumah tulang bukan saat pemilihan atau mengetahui hasil akhir tetapi saat "debat".
Mengapa?
Karena pada bagian ini masing-masing calon akan saling "menjatuhkan", membuka aib, membongkar kejahatan, saling "memaki", saling adu argumentasi, dsb. Suasana menjadi sangat panas terutama pada masing-masing kubu pendukung dan simpatisan. Layaknya seperti sebuah perang psikis terbuka. Dan selangkah lagi seakan-akan akan terjadi perang fisik dan sepertinya rumah tulang akan pecah.
Tetapi apa yang terjadi selanjutnya sungguh diluar dugaan. Setelah hasil akhir pemilihan diumumkan, pihak yang kalah menerima kekalahannya dan mengajak seluruh pendukung dan simpatisannya untuk mendukung pemerintah yang menang. Pihak yang menang pun berusaha merangkul pihak yang kalah. Semuanya berdamai sepaedia kala.
Hal itu benar-benar mereka lakukan dari awal pemerintahan hingga masa pemerintahan berakhir. Bersatu melupakan kepentingan partai demi kepentingan negara.