Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi di dalam bumi secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi. Akumulasi energi penyebab terjadinya gempabumi dihasilkan dari pergerakan lempeng lempeng tektonik. Energi yang dihasilkan dipancarkan ke segala arah berupa gelombang gempabumi sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi. Gempa bumi bisa memberikan dampak yang sangat luas bagi korban, baik secara fisik, sosial, ekonomi, maupun psikologis.Â
Pada tanggal 18 September 2024, gempa bumi mengguncang wilayah Kertasari, Kabupaten Bandung. Gempa ini berkekuatan sekitar Magnitudo 5,0 dan terasa cukup kuat di beberapa daerah sekitarnya, termasuk Pangalengan dan Garut. Akibat gempa ini, banyak warga yang segera meninggalkan rumah dan berkumpul di lapangan terbuka untuk menghindari kemungkinan gempa susulan. Di Kecamatan Pangalengan, gempa terasa signifikan saat warga sedang berkumpul di Masjid Agung untuk perayaan Maulid Nabi, meski pada saat itu belum ada laporan kerusakan atau korban yang jelas. Sedangkan di Kertasari, dampak yang lebih serius dirasakan, terutama pada kerusakan properti dan infrastruktur, termasuk gerobak pedagang yang rusak. Kondisi psikologis korban gempa bumi seperti yang terjadi di Kertasari pada 18 September 2024 sangat bervariasi, namun umumnya mereka mengalami beberapa bentuk tekanan emosional dan mental akibat trauma. Kondisi trauma pada korban bukan hanya terjadi kepada korban dewasa saja, melainkan juga menimpa korban anak-anak. Anak-anak korban gempa bumi bisa mengalami trauma psikologis seperti gangguan kecemasan, PTSD, perubahan perilaku dan kehilangan rasa aman. Oleh karena itu, diperlukan layanan dukungan psikososial dan trauma healing untuk membantu mereka memulihkan diri dari trauma emosional yang disebabkan oleh bencana.Â
Mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjadi relawan dalam kegiatan pemberian Layanan Dukungan Psikososial kepada korban bencana alam di Desa Cibeureum kecamatan Kertasari pada tanggal 28-29 September 2024. Mahasiswa dibagi ke dalam beberapa kelompok agar pemberian layanan kepada korban dapat dilakukan secara lebih merata dan optimal. Kelompok mahasiswa tersebut menyebar ke berbagai RW dan kelompok masyarakat, baik itu kelompok orang dewasa dan anak-anak.
 Salah satu layanan dukungan psikososial yang diberikan kepada korban anak-anak adalah terapi bermain (Play Therapy). Terapi ini bertujuan untuk membantu anak-anak korban gempa bumi mengekspresikan perasaan dan emosi mereka melalui permainan, yang lebih mudah bagi mereka daripada berkomunikasi secara verbal. Terapi bermain juga membantu memulihkan rasa aman dan memberikan kembali kontrol kepada anak-anak setelah kehilangan atau gangguan yang terjadi akibat gempa. Kegiatan ini dirancang untuk menciptakan suasana yang menyenangkan dan menenangkan, yang memungkinkan anak anak merasa aman untuk mengatasi emosi mereka. Selain itu, terapi ini dilakukan secara interaktif dengan melibatkan teman sebaya, yang juga memperkuat rasa solidaritas dan dukungan sosial di antara mereka. Sesi ini dimulai dengan perkenalan antara mahasiswa dan anak anak korban gempa bumi. Kemudian dilanjut dengan berbagai permainan seperti tebak-tebakan, berhitung dan bermain bola. Permainan itu cukup membuat senyum sumringah anak-anak hadir kembali. Mahasiswa juga menyiapkan hadiah dan cenderamata sebagai apresiasi kepada anak anak yang berhasil dalam bermain tebak-tebakan.
Selain itu, anak-anak diajak menggambar oleh para mahasiswa. Anak-anak disuruh untuk mengekspresikan emosi dan perasaannya dalam seminggu terakhir pasca bencana dengan menggambar emoji sebagai lambang perasaan mereka masing-masing. Gambar gambar ini kemudian menjadi sarana penting bagi mahasiswa untuk mengidentifikasi kondisi emosional anak-anak, apakah mereka merasa sedih, takut, marah, atau bahkan bahagia. Setelah sesi menggambar, mahasiswa membimbing anak-anak untuk berbagi cerita tentang gambar mereka. Beberapa anak dengan senang hati menceritakan emosi yang mereka gambarkan, sementara yang lainnya membutuhkan sedikit dorongan untuk berbicara. Aktivitas ini sangat membantu dalam memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan perasaan mereka tanpa tekanan, dan membiarkan mereka merasakan bahwa emosi mereka diakui dan dipahami. Melalui pendekatan yang ramah anak dan interaktif ini, diharapkan trauma yang dialami oleh anak-anak dapat perlahan-lahan berkurang, dan mereka dapat kembali merasa aman dalam lingkungan mereka pasca-bencana.Â
Mahasiswa tidak hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses trauma healing, tetapi juga sebagai pendukung moral yang menunjukkan kepedulian dan empati kepada para korban anak-anak. Dengan kolaborasi yang baik antara mahasiswa, pemerintah setempat, dan masyarakat, layanan dukungan psikososial ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang berkelanjutan, membantu korban, baik anak-anak maupun orang dewasa, untuk lebih cepat pulih dan kembali menjalani kehidupan sehari-hari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H