Sumber: learn.e-ilmu.comAsal mulanya adalah kesukaan penulis memperhatikan ucapan-ucapan di media terutama media elektronik. Ucapan-ucapan dari pejabat atau siapa saja yang diliput oleh media-media online. Dalam penjelajahan itu, penulis menemukan ada kecenderungan pihak-pihak yang merasa tidak yakin dengan ucapannya berupaya mengambangkan pernyataannya dengan harapan pembaca mengamini isi pernyataannya itu, tanpa dia menjelaskan lebih lanjut. Malah sering ditambahkan kalimat 'silakan simpulkan sendiri'. Penggunaan kalimat atau pertanyaan seperti ini sebenarnya mengakibatkan kesalahan penafsiran dari pembaca atau memang disengaja untuk diarahkan sesuai dengan keinginan si pemilik pernyataan.Dalam wawancara di TV One, Kamis 14 Mei 2016, Ketua BPK Harry Azhar Aziz menggunakan pertanyaan seperti yang disampaikan di atas. Dalam wawancara terkait Sumber Waras, dia menyatakan bahwa pembayaran lahan RS Sumber Waras dari Pemprov DKI ke Yayasan Sumber Waras sebesar Rp 750 Miliar dilakukan secara tunai (cash) pada malam tahun baru. Berikut kutipannya: "Ini mau tahun baru tiba-tiba ada pembayaran tunai, ada apa ini?"
Ini bukan soal kasus Sumber Waras dan transfernya, tetapi lebih pada: ‘ada apa ini?”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari Harry. Tetapi jika menggunakan sense of language, pernyataan ini tentunya berupa penggiringan pendapat. Seharusnya, supaya tidak ada kesan membentuk pendapat, apalagi pendapat miring, maka harus ada justifikasi di depannya. Penggunaan pola pernyataan seperti ini juga ditemukan pada wawancara dengan auditor BPK lainnya.
Ketika menjelajahi artikel-artikel di kompasiana, penulis juga menemukan kemiripan yang sama. Jika tidak ada argumentasi, maka diambangkan dengan membuat pernyataan yang menjurus dan menggiring dan pembaca disuruh mengambil kesimpulan sendiri, diharapkan sesuai dengan yang telah didefinisikan di awal oleh si pembuat pertanyaan.
Berikutnya adalah contoh kalimat yang digunakan salah seorang Kompasianer dalam artikelnya mengenai kasus Sumber Waras, dan yang penulis komentari. Penulis tidak akan membahas kasus yang diperdebatkan, akan tetapi terkait masalah tata bahasanya saja.
“Sebagai catatan, Kusmedi baru menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan setelah transaksi terjadi. Ia dilantik pada 2 Januari 2015 atau hanya 2 hari berselang dari tanggal transaksi (1 Januari 2015 hari libur tahun baru). Menarik bukan!"
Kalimat-kalimatnya persis seperti di atas dan frasa terakhirnya: “Menarik bukan!” Dua kata, menarik dan bukan, diakhiri tanda seru dan tidak dipisahkan koma.
Penulis kemudian berkomentar sebagai berikut, “Dalam tulisan non-Ahoker, sering saya menemukan kalimat yang diakhiri pertanyaan, tetapi tidak dijawab, tidak menjelaskan tetapi cenderung menuduh atau menciptakan kesan. Lalu, opini yang tidak berlandaskan fakta atau aturan yang jelas. Mungkin di tulisan Ahokers juga ada. Tapi, ini saya ambil beberapa contoh dari non-Ahoker.”
Penulis dalam komentar menggunakan beberapa contoh, tetapi untuk keperluan artikel ini hanya mengambil contoh di atas.
Kompasianer pemilik artikel kemudian menjawab, “Ah saya menggunakan tanda seru, dan seterusnya”. Jawaban lengkapnya tidak penting karena bukan soal pernyataannya, tetapi pada jawabannya tentang tanda seru itu. Di sinilah penulis merasa ada yang janggal.
Komentar penulis atas tulisan Kompasioner tersebut dengan ‘menuduh’ membuat ‘pertanyaan’ mengambang yang mengarahkan dan menggiring, terjadi karena kalimat akhirnya yang penulis bayangkan adalah, “Menarik, bukan?” Kata 'menarik', lalu ada koma, kemudian bukan dan diakhiri tanda tanya.
Struktur kalimat yang penulis bayangkan di kepala seperti itu karena memang secara rasa bahasa serta yang seharusnya pernyataannya itu adalah seperti itu, “Menarik, bukan?”. Tetapi yang ditulis Kompasioner tersebut adalah “Menarik bukan!”.
Mari Kita Lihat Sedikit enjabarannya.
[caption caption="Penggunaan Tanda Seru. Foto: slideshare.net"]