“Lebih baik putus makan dari pada putus rokok”. Kalimat ini sering diucapkan perokok akut di Medan sana. Tidak makan tidak menjadi masalah. Tetapi, jika tidak merokok seharian dunia bisa jungkir balik. Begitu kira-kira makna bebasnya ungkapan di atas. Merokok telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari para perokok akut ini. Tidak siang, tidak malam, dan seringnya juga tidak perduli dengan dampaknya bagi diri sendiri. Apalagi bagi orang lain.
Cerita tentang merokok ini sudah sering dibahas, dengan segala cerita buruknya. Tetapi tetap saja industri rokok tumbuh subur. Setidaknya ini tampak dari daftar orang terkaya di Indonesia yang masih dikuasai para pengusaha rokok. Total kebutuhan tembakau di Indonesia mencapai rata-rata, sejak 2012-2015, sekitar 167.425 ton. Angka ini cukup fantastis, meskipun telah terjadi penuruan sejak setidaknya 2010. Angka ini menurut Statistik Perkebunan Indonesia Tembakau.
Keakutan para perokok ini mengakibatkan susahnya untuk berhenti merokok. Ditambah gempita promosi industri rokok, yang meskipun dibatasi, tetap hingar-bingar. Apalagi penetrasi industri rokok sekarang sudah menyasar usia yang lebih muda dan perempuan. Merokok bagi perempuan digambarkan sebagai gaya hidup yang berkelas. Di kalangan anak remaja, rokok diidentikkan dengan pergaulan. Begitulah promosi industri rokok memperbesar pasar dan pada ujungnya peningkatan pendapatan.
Angka-angka yang mencemaskan sering dipaparkan di media. Nilai ekonomi yang sia-sia terbuang dari proses merokok ini sangat fantastis. Per harinya, nilai belanja tembakau di Indonesia mencapai 605 milyar. Dampaknya bagi kesehatan dan ekonomi sangat besar. Bahkan Jaminan Kesehatan Nasional mengalami kendala untuk memenuhi kebutuhan pasien yahg dipicu oleh rokok. Menurut WHO, badan PBB yang berkaitan dengan kesehatan, mencatat di 2010 bahwa biaya ekonomis yang ditimbulkan kebiasan merokok ini mencapai lebih dari Rp. 338 T. Sementara pendapatan pemerintah dari cukai rokok ini hanya sekitar Rp. 54 T.
Masih menurut laporan WHO tahun 2009 terkait dampak rokok di Indonesia, pengeluaran untuk merokok dapat mencapai 8 kali dari biaya membeli daging untuk keluarga. Nilanya tiga kali lebih besar dari biaya kesehatan. Empat kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan. Lima kali lebih besar dari angka yang dikeluarkan untuk membeli susu dan telur. Dua kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk membeli ikan. Ini angka rata-ratanya.
Di kalangan masyarakat miskin sekali pun, pencari nafkah cenderung mengutamakan pembelian rokok dari pada makanan. Ini yang mengakibatkan kelompok miskin sangat rentan dengan kemiskinan absolut yang berkelanjutan. Angka ini mencapai rata-rata Rp. 105.000 per hari untuk kebutuhan rokok saja. Ini sangat mencengangkan.
Jadi, bahaya merokok tidak semata-mata hanya terkait masalah kesehatan, tetapi juga ekonomi masyarakat dan uang yang terbuang sia-sia. Dulu ada ucapan orang miskin dilarang sakit. Bisa dimaknai bahwa penyakit dapat memperburuk kemiskinan rumah tangga. Ini tentunya dijustifikasi oleh perbandingan alokasi seperti disampaikan di atas.
Lalu, bagaimana sebenarnya gambaran pengeluaran individual perokok itu sendiri? Berapa besaran rupiah yang hangus terbakar bergitu saja untuk seorang perokok akut dengan karir merokok selama puluhan tahun?
Nilainya Sangat Fantastis
Jika angka-angka yang dihasilkan pemerintah dan organisasi lainnya terkait rokok ini sangat fantastis, mungkin ini tidak dirasakan oleh masyarakat perokok. Tetapi, jika dicoba mendekatkan dengan pribadi melalui hitungan besaran penghitungan total pengeluaran individu perokok, mungkin akan lebih dirasakan.
Mungkin para perokok tidak pernah bertanya soal apa yang didapatkan jika berhenti merokok dan menabung uangnnya. Jika itu ditanyakan, maka bisa jadi akan menyesal. Karena nilainya sangat besar, apalagi ditambahkan dengan biaya pengobatan yang ditimbulkan akibat merokok. Berapa angka ‘besar’-nya itu?