Ahok adalah kunci penting dalam upaya mewujudkan cita-cita pemerintahan Jokowi. Cita-cita yang diwujudkan dalam visi dan misi ketika masa kampanye dulu. Termasuk agenda prioritas Jokowi yang disebut sebagai Nawa Cita. Sembilan Cita ini berisi sembilan agenda prioritas Jokowi selama pemerintahannya. Janji-janji ini diudarakan pada masa kampanye di 2014 lalu.
Jokowi tentunya ingin agenda prioritas ini dilaksanakan oleh setiap aparat pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Seluruh program kerja kementerian dan pemerintah daerah harus diselaraskan dengan agenda prioritas di Nawa Cita ini.
Cita-cita mulia untuk mengembalikan kejayaan Indonesia. Upaya-upaya ini memerlukan kerja keras. Tantangan banyak. Sistem yang ditinggalkan pemerintah terdahulu harus dibenahi. Mentalitas penjaga birokrasi di semua lini harus dipermak. Governanceharus dibuat good. Tata kelola harus berbasis kinerja. Hasil-hasilan harus tuntas, tidak sekedar selesai. Setiap rupiah APBN dan APBD harus mewujud dalam pelayanan publik berkualitas.
Peran menteri dan para pejabatnya menjadi krusial sebagai operator yang menjabarkan norma, standar, prosedur dan kriteria bahkan panduan pembangunan. Pemerintah daerah harus mengerahkan semua sumber dayanya untuk memastikan tujuan Nawa Cita tercapai. Tidak lepas tentunya gubernur sebagai komandan di provinsi dan perwakilan pemerintah pusat di daerah.
Ahok tentunya turut dalam upaya pewujudan Nawa Cita Jokowi. Dalam prosesnya, Ahok telah melakukan cita yang digariskan Jokowi. Jika kita cermati, ada beberapa cita yang sudah diterapkan Ahok di Jakarta sesuai dengan kapasitasnya sebagai gubernur.
Di Cita kedua, Jokowi ingin pemerintah aktif dan hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Dalam kerangka ini, Ahok telah berhasil dalam menciptakan lingkungan birokrasi DKI yang bersih. Transparansi ditingkatkan. Sistem merit dan reward diperbaiki untuk memastikan yang terbaik muncul ke permukaan. Upaya keras para birokrat harus dikompensasi dengan remunerasi yang baik. Hasilnya, pelayanan publik membaik.
Pada Cita keempat, Jokowi secara tegas menginginkan negara yang kuat dengan melakukan reformasi sistem, dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Upaya-upaya ini juga telah diterapkan Ahok. Sistem yang terbuka dan terstruktur menjadi alat untuk menciptakan reformasi sistem. Modalitas sumber daya manusia Jakarta diberikan treatment yang tepat. Birokrat-birokrat yang terlibat dalam ‘permainan kotor’ disegerakan dipecat dan diperkarakan. Udar Pristono telah merasakan proses yang sedang berjalan di Jakarta ini. Ini tentunya mendukung upaya penciptaan pelayanan publik yang berkualitas.
Terkait Cita Kelima, Jokowi berbicara tentang manusia. Manusia yang berkualitas menuju daya saing bangsa. Pendekatan welfare state dalam konteks administrasi sosial di terapkan Ahok. Untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, khususnya Jakarta, Ahok memperhatikan pendidikan masyarakatnya. Kesehatan juga menjadi prioritas. Ruang-ruang publik diciptakan untuk meningkatkan kohesi antar masyarakat yang tentunya berujung pada hilangnya kecurigaan. Masyarakat yang selama ini dibiarkan tinggal di hunian tidak manusiawi, dipindahkan ke rusunawa dengan kualitas yang baik. Upaya-upaya perbaikan tetap dilaksanakan.
Cita kedelapan, terkait dengan sikap dan perilaku birokrat. Jokowi ingin melakukan revolusi karakter bangsa, mewujud dalam gerakan revolusi mental. Mentalitas bangsa Indonesia memang sedang payah-payahnya.
Mentalitas instan dan tidak menghargai proses telah merusak sistem pembangunan yang berkeadilan. Untuk itu, Ahok benar-benar memastikan bahwa sumber daya di birokrasi Jakarta adalah yang cakap dan mampu di bidangnya. Seleksi terbuka dan promosi tak terjadwal dilakukan untuk memastikan unit-unit pelayanan di masyarakat dipimpin orang-orang yang berkompeten. Mentalitas birokrat diubah dari mentalitas priyayi menjadi pelayan. Karena mereka sejatinya adalah pelayan masyarakat.
Selanjutnya Cita kesembilan, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Ini seutuhnya mewujud dalam diri Ahok. Keberadaan Ahok sebagai pemimpin di Jakarta menjadi pengejawanahan dari kebhinnekaan yang selalu menjadi karakteristik bangsa. Setiap manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu berhak menjadi motor pembangunan di manapun. Tidak ditentukan oleh suku, agama, ras dan golongan. Ahok menjadi ujian dari kebhinekaan bangsa Indonesia itu sendiri. Jika berhasil melewatinya dan Ahok tetap memimpin, ini menjadi catatan tersendiri atas tantangan yang dihadapi kebhinekaan di Indonesia.