[caption caption="Zonasi Teluk Jakarta. Sumber: bplhad.jakarta.go.id"][/caption]Jakarta merupakan kota pantai, sekaligus sebagai ibukota negara Indonesia yang terus berkembang menjadi kota metropolitan internasional. Pengembangan ke arah Timur dan Barat sudah tidak memungkinkan lagi karena terbentur lahan pertanian beririgasi teknis, sedangkan ke Selatan merupakan wilayah resapan air tanah. Perkembangan ke Utara berarti menata kembali Teluk Perairan Jakarta sesuai dengan rencana pembangunan kota Metropolitan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dampak pembangunan tersebut jelas secara fisik terjadi perubahan garis pantai, perubahan sosial ekonomi, biologi, pencemaran kimiawi, dan dampak kesehatan. Begitulah ringkasan penelitian yang dilakukan oleh Inswiasri Suprijanto, Staf Peneliti Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Kementerian Kesehatan republik Indonesia pada tahun 1996.
Dalam penelitian tersebut dikatakan, pembukaan kawasan Pantai Utara Jakarta telah dilakukan sejak tahun 1960-an, dengan pembukaan kawasan mangrove untuk daerah tambak, industri dan permukiman, karena kekurangan lahan seperti yang dijelaskan di atas. Pada tahun 1963 pernah dilakukan pembukaan vegetasi besar-besaran sebagai ganti reklamasi pertambakan di daerah Pantai Ancol, sehingga secara fisik pesisir mengalami perubahan yang sangat besar.
Pembukaan berikutnya pada tahun 1980, dibangun jetti pada di bagian Barat Muara Angke yang mengakibatkan Pantai Dadap dan Kamal mengalami erosi berat.
Pada tahun 1981, terjadi lagi penebangan vegetasi bakau di tepi Utara Delta Angke dan bagian Timur yang digunakan untuk pelabuhan Muara Angke. Pada tahun 1981 juga dilakukan reklamasi menjorok ke laut Pantai Muara Pluit untuk keperluan rumah mewah, (Totok, 1994). Pembukaan kawasan pantai Utara Jakarta besar-besaran itu telah mengakibatkanan perubahan ekologis lingkungannya termasuk kehidupan laut dan biotanya.
Saat ini, pemerintah DKI sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 54 tahun 2008 tentang RTRW Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur yang didalamnya sudah tercantum pula proyek reklamasi 17 pulau tersebut, melakukan reklamasi untuk memperbaiki kawasan pantai Utara sebagai bagian grand design great sea wall, untuk melindungi Jakarta dari abrasi, intrusi air laut dan banjir dari laut dan dari 13 sungai yang mengaliri Jakarta.
Kegiatan reklamasi ini menimbulkan perputaran isu yang melibatkan kekuatan ekonomi dan politik yang menyeruakkan aroma korupsi. Pusaran korupsi di sekitar masalah reklamasi sudah berkumandang jauh. Isu yang ditiupkan berputar mulai soal perijinan yang dipakai dikaitkan dengan pembongkaran pasar ikan, hingga masalah penghilangan penghasilan nelayan di Pantai Utara Jakarta.
Masih terkait kegiatan reklamasi ini, ada ajakan yang disebarkan melalui media sosial kepada para pihak terkait untuk meliput demonstrasi nelayan Pantai Utara Jakarta pada 17 April atas reklamasi yang dilakukan, karena katanya reklamasi ini telah menghilangkan pendapatan nelayan di Pantai Utara.
Pada bagian lain, ada juga yang mengemukakan pendapat bahwa sedang ada skenario pembuatan ‘framing’ untuk menutupi kerusakan ekologi Teluk Jakarta yang disebabkan oleh reklamasi ini.
Dari dua hal di atas bila ditarik kesimpulan, maka bisa dikatakan reklamasi Utara Jakarta yang dimulai tahun 2015 itu, telah mengakibatkan kematian ikan dan kerusakan biota laut, kerusakan ekologi Teluk Jakarta, sehingga menghilangkan pendapatan nelayan. Demi reklamasi, nelayan yang sudah miskin itu harus disingkirkan dengan menghilangkan laut tempat mereka mencari makan. Demikian kira-kira pesan yang ingin disampaikan. Tetapi, benarkan reklamasi yang dilakukan sekarang, merusak ekologi dan biota laut yang pada gilirannya menghilangkan penghidupan nelayan pantai Utara Jakarta?
Kesimpulan di atas coba diuji dengan melihat beberapa penelitian yang dilakukan terkait masalah pencemaran di perairan Utara Jakarta yang juga sering disebut Teluk Jakarta. Relevansi reklamasi saat ini dengan kerusakan biota laut yang mengakibatkan tingkat kemiskinan nelayan sama sekali tidak ada. Biota laut di pantai Utara Jakarta sudah lama rusak oleh pencemaran berat yang diakibatkan oleh pembuangan limbah yang masif ke laut, baik yang secara langsung maupun yang dilewatkan sungai-sungai Jakarta yang bermuara ke laut di Utara Jakarta. Silahkan disimak!
Penelitian yang dilakukan JICA pada 1990 sudah menunjukkan terjadinya peningkatan penambahan limbah domestik dan juga industri pada perairan pantai Utara Jakarta. Limbah domestik ternyata lebih banyak dibandingkan limbah industri dan komersial. Pada tahun 1989 saja, lebih dari 70% limbah yang masuk ke perairan Utara Jakarta didominasi oleh limbah domestik, yang mengakibatkan pencemaran berat.
Senada dengan penelitian JICA, penelitian literatur yang dilakukan oleh Inswiasri Suprijanto, Staf Peneliti Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1996 menunjukkan telah terjadi pencemaran logam berat di Pantai Utara Jakarta sejak tahun 1960-an. Penelitian ini menemukan fakta bahwa kandungan logam berat itu tidak memungkinkan tumbuhan dan biota laut sebagai sumber makanan ikan dapat tumbuh dengan wajar. Pertumbuhan biota laut yang tidak maksimal dan cenderung rusak tentunya berkontribusi pada jumlah ikan yang sangat minim di perairan Utara Jakarta. Penelitian yang dilakukan oleh kementerian kesehatan tersebut mengatakan bahwa kandungan yang paling berbahaya adalah kadmium (Cd), tembaga (Cu), Timbal (Pb) yang meningkat pada biota laut.