Menulis bagi sebagian orang merupakan siksaan. Jika sudah berurusan dengan menulis, hal pertama yang kerap dipikirkan ternyata judulnya. Lalu beruntun pertanyaan menyusul. Mau menulis apa? Apakah nanti tulisanku bagus? Apakah plotnya sudah benar? Apakah penyusunan kalimatnya sudah tepat? Masih banyak lagi.
Jika mencari penyebabnya, salah satunya bisa ditarik ke cara belajar di sekolah. Menulis tidak pernah menjadi satu mata pelajaran. Anak-anak didik disuruh menulis ketika guru sedang malas mengajar. Setidaknya begitu pengalaman beberapa rekan. Menulis dimana proses menyampaikan isi pikiran, pandangan, pendapat, perasaan, tidak pernah menjadi perhatian. Sementara di negara maju, menulis harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Proses ini akan berlanjut terus selama hidupnya.
Pengalaman penulis tentang ini cukup membuat kaget juga. Dulu, pasca gempa bumi Padang tahun 2009, penulis membawa tim penilai kerusakan dan kerugian pasca bencana ke sana. Totalnya ada 43 orang dengan berbagai kewarganegaraan. Anggota tim berasal dari berbagai organisasi international; United Nations, World Bank, Asian Development Bank dan European Commission. Di satu kesempatan, seorang anggota tim berkebangsaan Jerman mengeluhkan kemampuan menulis orang Indonesia. “They are so bad in writing”, ujarnya. “The report is messy”, lanjutnya lagi. Pada intinya, orang Indonesia yang ikut dalam tim itu tidak bisa menulis. Kalau pun bisa, tulisannya jelek. Setidaknya dalam pandang buleitu.
Awalnya tersinggung. Tetapi kemudian menyadari kenyataan yang ada. Laporan-laporan orang Indonesia harus diedit dan diperiksa ulang agar pesan yang ingin disampaikan tertulis dengan baik. Lantaran laporan itu untuk audiens global.
Dunia yang Berubah Membuka Kesempatan
Hingga dewasa ini, proses menulis di sekolah masih tidak mendapat perhatian. Teman karibnya menulis pastinya tidak juga terperhatikan. Ya, membaca. Membaca juga sesuatu yang tidak jamak dilakukan oleh pelajar Indonesia. Tidak mengherankan kemudian tingkat ‘kecerdasan’ bangsa Indonesia secara aggregatrendah dibandingkan negara lain, bahkan untuk tingkat Asean.
Tetapi, banyak juga yang berusaha sendiri untuk mengembangkan kemampuan menulis. Secara otodidak. Menggali kemampuan secara mandiri menuangkan isi pikiran lewat tulisan. Dengan kemajuan teknologi, tersedia wadah sangat luas untuk menulis. Dalam berbagai format media dan bentuk tulisan.
Tersedianya media ini menciptakan dinamika tersendiri bagi banyak pihak yang tertarik menulis. Awalnya susah, menegangkan dan mencemaskan serta menggelisahkan. Apalagi, ketika memuat tulisan di Kompasiana, untuk penulis pemula, yang dirasakan pasti sensasi tegang.
Banyak pertanyaan yang muncul. Apakah tulisanku dilirik? Apakah tulisanku bagus? Apakah akan dimuat? Pertanyaan yang muncul karena belum paham aturan Kompasiana. Kompasiana menerapkan moderasi tingkat rendah. Kebijakan moderasi rendah ini sudah diamankan di syarat dan ketentuan.
Tetapi, yang pasti banyak motivasi untuk menulis. Ada yang sekedar ikut trend. Akibatnya ada yang bertahan dan melaju. Ada juga yang gagal alias mandek. Sebagian lagi menulis untuk bisa memiliki penghasilan. Seorang mahasiswi dipaksa Ayahnya. Menurut Ayahnya untuk jurusan yang dipilih, menulis itu keharusan. Buku-buku juga disediakan.
Terlepas dari apa pun motivasi menulis, satu hal yang pasti, penulis ingin tulisannya dibaca. Dalam konteks Kompasiana, penulis artikel ingin tulisannya dibaca, dikomentari positif, dinilai dan di-share. Semakin banyak yang melakukan hal itu, semakin senang. Tulisan dan namanya bisa nongol di Terpopuler, Gres, Nilai Tertinggi, Featured Article, Headline dan Pilihan setidaknya.