Ani (30), rekan kerjaku dulu di salah satu NGO internasional di Aceh, bercerita. Pagi itu hari cerah dan waktu yang tepat untuk menikmati liburan akhir pekan. Dia dan suami serta anak semata wayangnya berumur 2 tahun, mengunjungi Pantai Lok Ngah di Aceh Besar. Pantai yang indah yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Banyak pengunjung pagi itu. Mereka bertiga asyik menikmati air. Berlari-lari dan bermain dengan anak kecil mereka, semuanya begitu sempurna. Tiba-tiba, bumi tempat berpijak bergetar hebat. Guncangan-guncangan dahsyat berulang beberapa kali. Semua terasa mencekam. Tetapi kecerian kembali muncul ketika air surut ke arah laut. Karang-karang bermunculan dan ikan-ikan menggelepar jauh ke arah laut yang mengering karena air laut seperti disedot penguasa laut ke tengah samudera. Semua berlomba ke arah laut menikmati pemandangan di depan mata yang tidak biasa. Tetapi Ani merasakan ada yang berbeda., meskipun dia tidak yakin itu apa. Dia segera memaksa suaminya untuk pulang. Awalnya suaminya menolak, akan tetapi dengan gigih Ani mendesak.
Dengan langkah agak dipaksakan sang suami mulai berjalan ke arah motor diparkir. Motor dinyalakan dan mereka melaju ke arah kota. Ani melihat ke belakang. Seolah-olah ada yang mengikuti. Perjalanan agak santai di jalan raya sejajar pantai tersebut. Hingga kemudian, suara gemuruh seperti mesin jet raksasa terdengar di kejauhan. Mereka sempat berhenti untuk melihat. Tetapi bayangan hitam di kejauhan membuat suaminya mempercepat laju motornya. Orang-orang dari arah pantai mulai teriak-teriak, “air….air…air” Dengan cepat gelombang air yang tingginya mencapai pohon kepala datang mengejar. Mereka dihempaskan kekuatan dahsyat. Bertiga terseret air gelombang laut yang mengganas. Mendorong mereka dengan cepat. Mereka tidak tahu terbawa kemana. Sang suami dengan kegigihan luar bisa mempertahankan anak dan istrinya dalam pelukannya. Mereka terbawa arus hingga ke sebuah perkampungan.
Air masih terus menggulung dan mendorong. Suaminya yang tinggi besar memegang erat anak dan istrinya dengan sekuat tenaga. Hingga kemudian gelombang air hitam itu mendorong mereka masuk ke sebuah rumah. Di ruang tamu rumah itu, air sudah setinggi leher suaminya dan terus naik. Mereka berputar-putar didorong oleh arus yang kencang. Gelombang air yang tidak putus-putusnya seperti berusaha memisahkan mereka. Dan ketika akhirnya sang suami berhasil meraih kusen pintu, tangannya terlepas dari istrinya. Dengan secepat kilat dia meraih istrinya dengan kakinya dan memeluk istrinya dengan kakinya. Satu tangannya berpegangan pada kusen pintu sementara tangan yang lainnya memegang erat-erat anak mereka. Mereka tidak sadar sudah berapa lama mereka berjuang dan dipermainkan ombak tsunami yang menerjang seperti tidak henti-hentinya. Hingga kemudian air perlahan menyurut dan arus melemah. “Rasanya seperti bertahun-tahun,” ujar Ani menggambarkan betapa lamanya mereka berada di pusaran air bah dahsyat tersebut. Ketika mereka keluar rumah tersebut, pemandangan di depan mereka sangat memilukan.
Tsunami Aceh yang menyusul gempa bumi berkekuatan 9,3 skala richter di penghujung tahun 2014 tersebut, meluluhlantakkan bumi Aceh dan melumpuhkan perekonomian provinsi paling barat Indonesia tersebut. Bencana gempa dan tsunami tahun 2004 di Aceh ini mengakibatkan korban jiwa yang sangat banyak dan kerugian ekonomi yang luar biasa besar. Bencana ini setidaknya memberikan dampak kepada hampir 52 negara yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Menurut data Bank dunia di Provinsi Aceh sendiri diperkirakan korban jiwa mencapai 165.000 orang dengan kerusakan dan kerugian mencapai 4,45 milyar US Dolar.
Setelah tsunami Aceh, bencana-bencana lain susul-menyusul. Gempa Nias terjadi pada tahun 2005. Diikuti gempa Yogyakarta pada tahun 2006 yang mengakibatkan hampir 7000 jiwa hilang dan 200.000 rumah rata dengan tanah. Gempa Tasik yang memicu tsunami pangandaran pada tahun awal September 2009 terasa hingga ke Jakarta. Bulan September 2009 belum usai, gempa mengguncang Sumatera Barat untuk kesekian kali. Pada tahun 2010 banjir bandang Wasior di Papua dan gempa bumi yang memicu tsunami di Kabupaten Mentawai. Pada 2011 hingga 2015, banyak terjadi bencana-bencana kecil yang berpengaruh pada daerah-daerah yang dilanda. Tanah longsor Banjarnegara, longsor Pengalengan, tanah bergerak Majalengka, banjir Jakarta, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir tiap tahun selama 19 tahun. Kebakaran hutan dan lahan terdahsyat tahun 2015 yang mengakibatkan kerugian hingga 220 trilyun rupiah menurut perkiraan Bank Dunia. Berupa-rupa bencana baik yang skala kecil maupun menengah seperti telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia.
Upaya Pengurangan Risiko Bencana adalah isu pembangunan…
Indonesia terletak di wilayah yang sangat rentan dengan kejadian bencana, berada pada wilayah ring of fire. Indonesia yang sangat rawan dengan bencana sudah seharusnya memasukkan unsur pengurangan risiko bencana ini dalam proses pembangunannya. Masyarakat Indonesia dimanapun berada terpapar dengan setidaknya dengan satu ancaman bencana sesuai dengan ancaman yang dikenal dan dimasukkan dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risko Bencana. Menurut BNPB, 80% wilayah Indonesia setidaknya terpapar ancaman gempa bumi. Dengan demikian, hidup berdampingan dengan risiko bencana sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat Indonesia. Mereka tidak bisa terlepas dari ancaman bencana dimana pun mereka berada di negara ini. Kehidupan mereka dikelilingi oleh ancaman bencana yang harus disikapi dengan benar sehingga keberlangsungan hidup dan penghidupan mereka dapat berjalan dengan baik. Jika pun terjadi bencana, keterputusan penghidupan tidak berlangsung lama dan menurunkan kualitas kehidupan secara signifikan.
Upaya-upaya mengintegrasikan pengurangan risiko bencana pada proses pembangunan seharusnya menjadi elemen yang lekat dengan kehidupan masyarakat dan pemerintah. Kejadian bencana menghancurkan hasil-hasil pembangunan dalam waktu yang sangat singkat. Dengan demikian, Indonesia harus melihat risiko bencana sebagai faktor dalam proses pembangunan. Dalam prinsip pengelolaan bencana, setidaknya ada tiga prinsip utama yakni menjauhkan masyarakat dari risiko, menjauhkan risiko dari masyarakat dan hidup bersama risiko bencana. Pelaksananaannya dalam konteks penanggulangan bencana dapat dilakukan pada tahapan mitigasi, tanggap darurat dan pemulihan. Bencana terjadi ketika aspek-aspek seharusnya pembangunan dari mulai perancangan hingga implementasi tidak dilaksanakan secara taat.
Dalam kancah global, isu-isu terkait pengintegrasian pengurangan risiko bencana ini ke dalam pembangunan sudah menjadi perhatian banyak pihak yang bergerak dalam kebencanaan. Usaha-usaha mendorong pemerintah dan pengambil kebijakan juga telah dilakukan melalui kajian-kajian, advokasi dan bantuan teknis. Di beberapa negara pengintegrasian ini telah dimasukkan ke dalam proses pembangunan. Di Turki misalnya, pembangunan sekolah- sekolah baru telah memasukkan elemen pengurangan risiko bencana. Bangunan sekolah dibangun tahan gempa. China setelah kejadian gempa besar di Sinchuan juga telah membangun sekolah-sekolah baru yang tahan gempa.
Selanjutnya, dengan kondisi yang sedemikian rupa apakah masyarakat Indonesia telah hidup berdampingan dengan bencana secara harmonis dalam pengertian bahwa upaya-upaya pengurangan risiko bencana telah dilakukan? Bagaimana dengan pemerintah sendiri, apakah juga sudah mengintegrasikan elemen pengurangan risiko bencana dalam rencana pembangunan nasionalnya? Jika melihat apa yang telah diwacanakan oleh pemangku kebijakan di Indonesia, sepertinya upaya-upaya pengintegrasian elemen pengurangan risiko bencana sudah dimasukkan ke dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Setidaknya seperti yang tercantum dalam sambutan Kepala BNPB di Sendai pada bulan Maret 2015 dalam Konferensi Dunia Pengurangan Risiko Bencana Persatuan Bangsa-Bangsa.
Dikatakan bahwa pengurangan risiko bencana bukanlah semata-mata isu kebencanaan tetapi isu pembangunan. Pengurangan risiko bencana merupakan bagian yang integral dari pembangunan di Indonesia. Dalam konteks ini, dapat dilihat bahwa semangatnya sudah ada. Akan tetapi, seperti yang sering terjadi, di awal semangatnya tinggi tetapi mengendur seiring dengan perjalanan waktu karena tidak ada lagi yang mendorong semangat tersebut. Bahkan, pada tahapan implementasi pembangunan di daerah, unsur pengurangan risiko bencana masih tetap dalam tingkatan wacana dan pelaku kebijakan di daerah masih tergagap dalam pengintergrasian pengurangan risiko bencana ini ke dalam proses pembangunan. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pengurangan risiko bencana, tidak adanya mekanisme perencanaan yang mengintegrasikan unsur pengurangan risiko bencana yang berdampak pada proses perancangan anggaran daerah dan mungkin sekali pemahaman unsur pengurangan risko bencana yang masih kurang. Kecenderungan bahwa pengintegrasian unsur pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan masih dilihat sebagai penambah biaya yang tidak perlu. Dalam keterbatasan kemampuan finansial pemerintah, unsur ini menjadi terabaikan.