Ahok selalu mengatakan bahwa dirinya adalah pengabdi rakyat. Rakyat yang menjadi tuannya harus dijamu dan dilayani. Seluruh kekayaan Jakarta harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pelayanan kebutuhan masyarakat. Ini selaras dengan konstitusi yang memandatkan sebesar-besarnya kekayaan negara untuk kemakmuran rakyat.
Kesadaran Ahok akan perannya sebagai pelayan rakyat tidak terjadi begitu saja. Pengalaman-pengalaman hidupnya menghadapi kecurangan birokrasi dan menyaksikan dampaknya bagi masyarakat melahirkan suatu visi yang kuat untuk selalu memperhatikan kepentingan masyarakat.
Ahok sadar, untuk dapat mewujudkannya, maka dia harus mendapatkan kekuasaan itu. Mendapatkannya untuk kemudian menjalankannya dengan amanah untuk kebaikan masyarakat yang berhak atas pelayanan tersebut. Dari masyarakat, harus dikembalikan ke masyarakat seluruhnya. Begitulah Ahok memahami makna menjadi pemimpin. Hal yang sama yang Ahok terapkan di Jakarta.
Disisi lain, para elit memiliki keinginan yang berbeda dan bertentangan dengan penerjemahan Ahok tentang pelayanan publik. Jika dicari muasal dari perbedaan ini, karena pada intinya terjadi perbedaan persepsi soal menjabat di provinsi DKI yang kaya raya.
Sudah lama tertanam di benak para pejabat dan politisi bahwa menjabat adalah memiliki kekuatan dan kekuasaan, dimana melekat kelimpahan. Kekuatan dan kekuasaan ini didapatkan dengan proses yang sulit dan menghabiskan banyak dana dan keringat. Ini terjadi karena persaingan yang tidak sehat dan tidak adanya pembangunan manusia-manusia berwatak kenegarawanan. Posisi yang menjanjikan dari kekuasaan dan kekuatan yang berujung pada ‘gelimang harta’ menjadi target abadi para pemburu jabatan ini. Dengan demikian, sewajarnya saja para elit ini ingin mendapatkan posisi ‘wah’ itu dan pada gilirannya mengembalikan modalitas yang telah terbakar habis demi satu posisi ini.
Terlebih lagi masyarakat memiliki persepsi yang salah terkait pejabat ini. Di mata masyarakat, sudah sewajarnya seorang pejabat itu memiliki kekayaan melimpah. Namanya juga pejabat, pasti kaya raya. Dan masyarakat tidak pernah menanyakan sumber-sumber pendapatannya. Masyarakat juga tidak perduli dengan profil pendapatan pejabatnya. “Malu dong pejabat tidak kaya”, ucapan ini seperti mantra bagi para pejabat dan elit negara ini.
Di Jakarta, hal yang sama juga terjadi. Tidak elok rasanya jika seorang anggota dewan naik angkot ke kantor untuk mengikuti rapat. Ada rasanya yang kurang, jika anggota dewan tidak memiliki penampilan yang hebat secara fisik. Dewan yang hanya mengandalkan gaji, hanyalah pemain pinggiran yang tidak akan banyak dikenal dan diajak bergaul.
Anggota dewan setidaknya harus memiliki mobil mewah, kalau boleh berharga milyaran. Apartemen harus ada dan biasanya berharga mahal juga. Istri-istri juga harus dilengkapi dengan perawatan yang mahal. Masa, istri anggota dewan tidak kinclong. Apa kata konstituen nantinya?
Tidak berhenti di situ, anggota dewan ingin juga makan dengan menu-menu mahal. Makan di warteg seperti yang dilakukan beberapa menterinya Jokowi tidak masuk akal. “Anggota dewan makan di warteg?”, apa kata dunia. Tidak bisa. Anggota dewan harus makan makanan bergizi kelas lobster.
Supaya dianggap dan dihormati, anggota dewan juga harus memiliki perut gendut dan sekaligus rekening gendut. Kan, cuma lima tahun. Lalu biaya yang lalu bagaimana? Harus dikembalikan semuanya, kalau boleh dengan untung berlipat. Bisik-bisik itu sudah seperti suara yang menggaung di ruang-ruang kantor anggota dewan itu.
Menjelmalah anggaran siluman hingga mencapai 12 Trilyun. Begitulah prakteknya, untuk mendapatkan semuanya, harus ada kerjasama yang baik dengan eksekutif. Jadilah proyek-proyek pengadaan yang mengada-ada. UPS menjelma menjadi mesin raksasa yang tidak dapat digunakan. Kursi-kursi menumpuk karena diberikan secara ‘paksa’ ke sekolah-sekolah, padahal sekolahnya tidak butuh. Komputer-komputer dibagikan, padahal tidak diminta. Bangunan sekolah atapnya rubuh. Trotoar-trotoar yang dibangun sembarangan. Got-got yang lupa disedot. Bus-bus yang siap terbakar dan menghanguskan penumpangnya.