Ada yang menarik perhatian publik, setidaknya mereka yang mengikuti, pada pemilihan gubernur Jakarta kali ini. Salah satu pasangan calon, Dharma-Kun mendapatkan suara publik. Jumlahnya tidak banyak. Jumlahnya tidak akan mampu melawan pasangan Ridwan-Suswono dan Pramono-Rano. Dari beberapa lembaga survey yang melakukan hitung cepat (quick count), rata-rata melaporkan suara pasangan independen ini mencapai 10%. Rentangnya dari 10,16% - 10,71%. Angka ini dua kali lipat dari survei-survei yang ada sebelum hari pemilihan.
Sedikit mundur ke belakang. Cerita pencalonan Dharma-Kun ini sempat dicurigai publik sebagai bagian dari menghindarkan pasangan Ridwan-Suswono melawan kotak kosong. Karena sesuai aturan MK, hanya partai atau gabungan partai yang memiliki 25% suara dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau 20% kursi di DPRD yang dapat mencalonkan. Sementara calon independen, harus memiliki dukungan, yang dibuktikan dengan adanya KTP, sebesar 7,5% dari total calon pemilih di DPT.
Dharma-Kun, dengan segala 'kesaktiannya', berhasil mengumpulkan pendukung sebanyak 618.750, sebagai syarat minimal itu. Cerita selanjutnya, protes di masyarakat bermunculan. Ada yang merasa, bahwa nama dan identitas mereka dicatut. Kecurigaan ini wajar, karena sebelumnya Dharma-Kun tidak pernah muncul ke permukaan dan pencalonannya mendadak. Sementara itu, PDIP tidak bisa mencalonkan pasangan. Ridwan-Suswono sendiri sudah didukung 12 partai.
Mungkin nasib baik atau rejeki nomplok, tuntutan Partai Garuda dan Buruh untuk mengubah ketentuan 25% dan 20% itu dikabulkan MK pada tanggal 20 Agustus 2024. Partai dapat mengusulkan calon jika memiliki setidaknya 7,5% suara dari total DPT. Dan, setelah putusan itu, PDIP dapat secara mandiri untuk mencalonkan pasangannya. Awalnya Anies yang dijagokan untuk calonnya. Namun, akhirnya Pramono-Rano yang dimajukan, dengan segala pertimbangannya. Pertarungan pun dimulai.
Tanpa Program Realistis
Kampanye partai politik dan calon-calon yang mereka dukung berusaha menarik perhatian publik. Aneka program ditawarkan ke publik calon pemilih, sang pemilik suara. Program-program yang ditawarkan cenderung 'tidak masuk akal' atau 'absurd'. Para calon mendorongkan program-program populis, sementara pelaksanaannya belum tentu bisa. Kemungkinannya, Â karena anggaran, bisa juga tidak realistis untuk diterapkan di Jakarta. Mungkin juga, untuk sekedar menarik suara pemilih. Ridwan-Suswono menawarkan program mobil curhat, perumahan di atas pasar, kredit tanpa bunga, solusi hujan aman, optimalisasi transportasi publik.
Sementara itu, Pramono-Rano menawarkan program melakukan job-fair sekali tiga bulan mengatasi pengangguran, pelatihan di balai kerja kantor kecamatan, membuat ruang terbuka hijau dari 5% menjadi 30%, melakukan normalisasi sungai-sungai Jakarta. Masalah job-fair, mau dilakukan seratus kali sehari, jika memang tidak ada lapangan kerja, pastinya tidak akan berdampak.
Selain itu, banyak dari program-program itu telah pernah dijanjikan gubernur-gubernur sebelumnya. Hingga kini mereka selesai menjabat, program-program itu tidak berjalan bahkan hanya ilusi. Dulu ada program perumahan dengan uang muka 0%. Program andalan Anies ini mendadak jantungan dan mati di awal pemerintahannya. Ahok menata sungai dan melakukan pemindahan penduduk ke flat yang lebih manusiawi. Malah Ahok sendiri kena gusur. Program-program yang sifatnya populis tidak akan dapat diterapkan, namun selalu dimunculkan dan dijanjikan ke publik.
Selama debat-debat masa kampanye, media selalu memberitakan Ridwan melawan Pramono; Siswono melawan Rano. Sementara itu, Dharma-Kun disampaikan melawan siapa saja dan apa saja. Pesan kampanyenya sangat di luar nalar. Dharma-Kun menyatakan covid itu tidak nyata. Mereka juga menyampaikan akan ada pandemi baru. Pandemi dan covid hanya menjadi strategi asing untuk  menguasai kedaulatan bangsa. Lebih lanjut, Dharma-Kun akan mendukung masyarakat yang menolak vaksinasi, jika mereka menang. Kacau!
Â