Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Logika Jungkir Balik dan Mulut Manis Penantang Jokowi

16 April 2019   09:47 Diperbarui: 16 April 2019   10:09 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: irelandcalling.ie

Dalam suatu kesempatan, seorang lelaki sedang merayu sang perempuannya. Meluncurlah kata-kata manis. Lebih manis dari susu kental manis. Ngomong-ngomong, susu kental manis sebenarnya bukan susu.

Seluruh kata manis dan indah dihamburkan untuk mendapatkan perhatian, cinta dan tentunya menjadikan sang perempuan itu menjadi kekasihnya. Karena keindahan yang luar biasa dan cara menyampaikannya rayuan manis pun masuk ke sanubari sang wanita. Padahal banyak yang tidak masuk akal dari rayuan itu.

Dengan tangkas dia bilang, laut kan kuseberangi, gunung kan kudaki dan badai kan kutempuh. Ternyata di lain kesempatan, ketika gerimis mengguyur kota, alasan berhamburan untuk tidak datang. Ketika ongkos naik angkot tidak ada untuk wakuncar, kencan terpaksa dibatalkan. Jalan kaki tidak menjadi pilihan. 

Padahal dulu badai akan ditempuh. Tapi, apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Cinta sudah berlabuh. Pasrah sudah diserahkan. Apa pun yang dikatakan sang lelaki, sudah menjadi tidak ada artinya.

Membaca kisah di atas, penulis selalu teringat dengan kata-kata banyak orang bijak. Jangan percaya mulut manis. Benar sekali, jangan percaya dengan rayuan maut yang seolah-olah semuanya indah. Semuanya seolah-olah mudah. Bahkan kadang rayuan itu bertolak belakang dengan logika paling dangkal sekalipun.

Rasa-rasanya, mencermati satu-satu kata di atas, ada perkara yang sama dengan kejadian yang sedang berlangsung saat ini di negeri tercinta.  

Sebuah peristiwa besar yang akan menentukan nasib bangsa ke depan. Tidak hanya lima tahun, tetapi banyak tahun-tahun ke depannya. Kejadian bernama pemilihan presiden.

Salah satu calon presiden, kebetulan sebagai penantang Jokowi sang Petahana, mirip-mirip dengan lelaki perayu seperti kisah itu. Dia menyemburkan rayuan-rayuan maut kepada para calon pemilih. 

Rayuan-rayuan yang cenderung memabukkan. Bagaimana tidak memabukkan, jika hidup seakan-akan menjadi sangat mudah, indah, mudah, gampang, tidak ada masalah dan seperti hanya meraup kebahagiaan, kenikmatan dan kejayaan yang bertebaran di udara.

Kata-kata semua murah, semua mendapat pekerjaan, semua akan hidup sejahtera, tidak akan ada orang miskin, harga akan murah semua, orang asing akan diusir, menolak impor, memberi pensiun kepada koruptor, pengusaha akan mendapatkan keuntungan; menjadi barisan kalimat keseharian dalam masa kampanye ini.  Bahkan narasinya kadang bertolak belakang ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang secara tradisional berseberangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun