Puntiran kabar kejadian istimewa surat suara tercoblos di Selangor kian merengsek kemana-mana. Sahut menyahut para pendukung lawan Jokowi melontarkan suara-suara ke udara mempertebal makna jika pelaku curang adalah koalisi Jokowi.
Di banyak kesempatan, suara-suara ini diputar terus dan bermanifestasi pada banyak kejadian ikutan. Eggi Sudjana, pentolan oposisi Jokowi, dengan secepat kilat melakukan pelaporan ke Badan Pengawas Pemilu. Tuntutannya bahkan sangat serius. Eggi Sudjana meminta agar Jokowi didiskualifikasi dalam kontestasi pemilihan presiden.
Tuntutan yang sangat serius. Eggi beranggapan Jokowi bertanggung-jawab akan terjadinya peristiwa tersebut. Eggi lupa bahwa KPU adalah badan independen yang tidak bisa diintervensi pemerintah. Sama seperti Bawaslu. Bukan tingkah Jokowi ikut campur dengan sesuatu yang bukan tugasnya. Tetapi, sebagai sebuah puntiran menciptakan kesan, Eggi menguji nasibnya.
Bahkan, para ahli hukum, demikianlah dikatakan, yang dikomandani Otto Hasibuan yang mendeklarasikan dukungan ke oposan Jokowi, bahkan telah menyatakan bahwa di Malaysia telah ada kecurangan. Aneh, bukan? Seorang intelektual yang merupakan puggawa hukum telah bisa mengeluarkan pernyataan seperti itu bahkan sebelum kasusnya terang benderan. Kadang, ambisi memang merusak logika. Mungkin ini karena ada namanya di daftar menteri lawan Jokowi jika nantinya menang.
Terlepas dari itu semua, ada sebuah adagium bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna. Siapa pun yang melakukannya itu adalah sebuah kejahatan. Karena upaya seperti itu untuk melegitimasi KPU, negara Indonesia dan juga presiden Jokowi. Lebih buruk, Â terlebih karena terjadinya di luar negeri. Negeri Malaysia tentunya tidak nyaman di negerinya terjadi peristiwa yang tidak baik terkait kontestasi pemilihan presiden Indonesia.
Ada beberapa hal yang membuat kejadian ini menjadi peristiwa yang bisa memakan tuannya sendiri. Mereka yang mencoba menyodokkan bahwa kejadian itu merupakan pekerjaan koalisi Jokowi. Terdapat kejanggalan yang sangat kasat mata dan bisa dijabarkan dengan gamblang.
Kemungkinan-kemungkinan yang akan disajikan didasarkan pada dua buah video yang muncul terkait langsung dan satu video wawancara televisi swasta nasional dengan Yaza Azzahra, Ketua Pengawas Pemilu di Malaysia. Hal-hal yang tampak tidak logis dijbarkan sebagai berikut.
Pertama, kejadian itu ditemukan oleh pendukung lawan Jokowi. Tempat surat suara tertusuk adalah rumah toko yang dikabarkan cukup sepi. Secara lugas Yaza menerangkan bahwa tim penemu masuk melalui jendela, lalu membuka pintu rolling door. Jadi tidak masuk dari depan gedung. Dari gambar-gambar yang ada tampak bahwa rumah toko tersebut terdiri dari dua lantai, dan tidak ada jendela di lantai satu. Jendela ada di lantai dua dan tampak tinggi. Sehingga benda di dalamnya tidak tampak dari luar. Bagaimana mereka tahu persis, Parlaungan sebagai pelapor, ada di tempat itu surat suara tercoblos? Informasinya dari mana? Ini aneh. Di bangunan yang tertutup rapat dan dari jendela di lantai dua dapat diketahui ada surat suara yang tercoblos? Apakah penciumannya sudah terlatih untuk membaui suara tercoblos?
Fakta kedua, jika ditemukan benda-benda yang tidak pada tempatnya, dan juga tampak mencurigakan, terlebih dibungkus dalam plastik hitam, naluri normalnya adalah melaporkan kepada pihak berwajib. Bukankah ada kemungkinan bom di dalamnya? Sering sekali sebuah tas hitam yang teronggok di pinggir jalan dan tidak ada pemiliknya, dicurigai sebagai sebuah bom dan memanggil tim gegana untuk mengamankannya. Ini malah langsung dibuka. Ada bau amis tampaknya.
Hal ketiga, masih dari wawancara dengan Yaza, disampaikan bahwa Yaza ketika itu sedang melakukan pengumpulan surat suara dengan metode jemput bola. Ketika mendapat telepon, beliau langsung mengarah ke lokasi. Jarak  posisinya dan lokasi penemuan surat suara sekitar 20-30 menit perjalanan. Jika dianalisa, seharusnya Yaza harus datang dengan para pihak yang terkait untuk memastikan bahwa itu tidak merugikan atau menguntungkan pihak tertentu. Seharusnya Yaza menghubungi pihak perwakilan koalisi Jokowi dan KPU di kedutaan dan juga konsulat. Tapi, di lokasi semuanya adalah dari kelompok lawan Jokowi. Ini aneh. Yaza mengakui bahwa seharusnya memang ada pihak-pihak terkait seperti disampaikan di atas. Tetapi alasannya genting, jadi tidak dilakukan.
Dilanjutnya keempat, peristiwa genting tidak menemui bentuknya. Hanya ada orang dan tidak terjadi kehebohan yang luar biasa. Berani mereka bikin rebut di Malaysia. Justru karena genting, maka semua pihak terkait harus dipanggil. Jika memang genting, seharusnya Yaza melaporkan ke polisi setempat. Alasan ada kejadian yang genting sehingga tidak sempat menghubungi pihak koalisi Jokowi menjadi tidak masuk akal.