Afganistan pernah menjadi saksi pertarungan dua negara adidaya  di akhir tahun 80-an hingga di awal 90-an. Tepatnya perang brutal yang terjadi pad tahun 1978-1992. Perang ini diawali dengan invasi Rusia yang pada waktu itu masih bernama Uni Soviet ke Afganistan pada akhir Desember 1979. Dikutip dari brittanica.com ((01/05/2018).
Kurang lebih 30.000 tentara Uni Soviet memasuki Afganistan pada tanggal 24 Desember 1979. Tujuannya untuk mendukung pemerintahan komunis yang tentunya pro Soviet. Perlawanan yang muncul mendorong Uni Soviet untuk mengirimkan lagi peralatan perangnya termasuk 100.000 pasukan. Pasukan ini menguasai kota-kota dan mendukung pemerintahan komunis ini termasuk program-programnya.
Semua yang menentang pemerintahan komunis ini digusur dengan bantuan Uni Soviet. Reformasi agraria dilaksanakan dengan seluas-luasnya sesuai paham komunis. Kekuasaan pemerintah dukungan Uni Soviet ini kemudian mendapat perlawanan dari kelompok agama dan juga anti-komunis. Mereka kemudian membentuk pasukan yang disebut dengan Mujahidin.
Amerika kemudian mengirimkan persenjataan termasuk peluru kendali anti pesawat Stinger. Rudal Stinger ini sangan bebas bergerak. Rudal ini dapat diluncurkan dari pundak. Sejak dibekali dengan rudal ini, setiap hari pasukan Mujahidin berhasil menembak satu pesawat tempur Uni Soviet. Akhirnya setelah perang 9 tahun, pada 16 May 1988 pasukan Uni Soviet ditarik dari Afganistan.
Afganistan menjadi perang terbuka antara kekuatan Uni Soviet dan Amerika Serikat. Mundurnya Uni Soviet menandakan kekalahan negara beruang merah dengan tentara merahnya itu dari kekuatan Amerika Serikat.
Kemungkinannya, perang Uni Soviet, kini Rusia, Â dengan Amerika Serikat akan terulang lagi. Kali ini candradimukanya di Suriah. Rusia mendukung pemerintah Bashad al-Assad, sementara Amerika Serikat ingin menggulingkannya dengan mendukung pasukan oposisi penentang presiden Bashar al-Assad yang 'mewarisi' pemerintahan dari Ayahnya, Hafez al-Assad tahun 2000.
Setiap Damaskus melakukan serangan ke oposisi, maka Amerika akan membalas dengan serangan mematikan. Pada tanggal 7 April 2017, seperti dikutip dari edition.cnn.com (07/042017), atas perintah Trump, Amerika menghujamkan 59 rudal Tomahawk ke pangkalan udara Suriah di Damaskus. Serangan ini atas kecurigaan adanya penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Damaskus.
Serangan terbaru yakni, pada awal Februari 2018, 200 pasukan bayaran Rusia yang bertempur atas nama Bashar al-Assad terbunuh dalam sebuah serangan brutal yang dilakukan Amerika Serikat sebagai balasan atas kematian 4 pasukannya. Peluru-peluru kendali diluncurkan. Di samping dua ratus yang tewas, terdapat juga 300-an yang terluka di pihak Rusia.
Tampaknya, dua negara adikuasa ini tidak akan pernah lepas dari dendam perang dingin. Terlebih lagi saat ini Rusia berusaha untuk mendapatkan pengaruhnya menjadi lawan tanding Amerika Serikat. Sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1990-an, tidak ada lawan seimbang Amerika Serikat. Amerika Serikat jadi penguasa tunggal.
Sayangnya, perseteruan dua negara raksasa ini menghancurkan manusia dan kekayaan negara lain. Jika pada tahun 1980-an kedua negara bertarung di Afganistan, kali ini medan tempurnya di Suriah.
Akankah Rusia mendapatkan 'piala'nya kembali sebagai kekuatan penyeimbang dunia? Mungkin perang Suriah akan membuktikannya. Bisa diasumsikan, jika Bashar al-Assad tidak tumbang, berarti Amerika Serikat mengalami kekalahan. Tetapi rumornya, Trump tidak terlalu berniat mengalahkan Rusia di Suriah. Tidak sama dengan ambisi Ronald Reagan ketika menghantam Uni Soviet di Afganistan.