Pernah memiliki teman yang susahnya minta ampun kalau diminta menerangkan sebuah soal mata pelajaran ketika sekolah dulu? Teman yang sangat pelit membagi ilmunya. Teman yang sangat susah dimintai untuk mengajari.
Jika pernah, anda tidak sendirian. Jika pernah, anda seharusnya mengasihani orang tersebut. Ya, selayaknya dia harus dikasihani. Kok bisa?
Orang tersebut telah menghilangkan sebuah peluang yang sangat berharga dalam hidupnya. Orang itu tidak memanfaatkan peluang emas. Orang itu ditawarkan kesempatan untuk menggali lebih dalam ilmunya, tetapi menutup diri. Orang yang bertanya itu memberikan peluang untuk memperluas pemahamannya, tetapi malah dibuang.
Loh, kok bisa seperti itu? Mungkin pertanyaan ini menjalin-jalin di benak anda. Mungkin pertannyaan ini membuat anda bingung bin merasa aneh.
Wajar, karena tampaknya yang disampaikan di atas tidak logis. Orang yang pintar, memahami persoalan dan mungkin sering juara kelas kok harus dikasihani.
Tetapi, sejati dan senyatanya begitulah adanya. Jika dia menyimpan untuk dirinya sendiri, orang itu sedang menutup kesempatan luas menambah pengetahuannya.
Kagum, Rumus Panjang Kok Bisa Dihapal
Awal tahun sembilan puluhan, Soeharto masih berkuasa, penulis masih duduk sebagai angkatan yang 'wajib' diplonco di kampus Fakultas Ekonomi Padjadjaran. Setiap mengikuti mata kuliah Statistika yang diampu Bapak Sumanang Yusuf, nama sang dosen, selalu muncul kekaguman luar biasa.
Bagaimana tidak kagum? Rumus statistika yang kadang panjangnya hampir 10 meter, bisa dituliskan dengan tepat, rapi dan tidak pake mengulang. Setiap rumus yang kombinasi tambah, kurang, akar dan pangkat untuk mencari korelasi dan regresi serta semacamnya itu seperti bermunculan dari ujung kapur yang menyentuh papan tulis hitam itu. Ya, masih memakai kapur dan papan tulis ketika itu.
Sementara penulis, yang otaknya masih segar, karena belum dirasuki berbagai ide oleh kakak kelas termasuk liberalisme, aktivisme, pemihakan dan sebagainya, tidak mampu menghapal rumus tersebut.
Perasaan lemah dan tidak berdaya di hadapan mata kuliah statistika tiba-tiba menyerang. Dan hasilnya perasaan itu terbukti. Dari tiga mata kuliah Statistika, tidak satupun yang memiliki nilai bagus. Hanya satu agak lumayan, mungkin itu nilai kasihan.