Sekarang, itu semua tidak berlaku. Jakarta lebih ramah dan tersenyum baik bagi mereka yang mencoba bertarung di rimba raya kota ini. Lihatlah pengamen-pengamen yang sudah mulai menyerbu di jalanan. Lampu-lampu merah pun sudah mulai meriah dengan kehadiran merka.
Trotoar pun diijinkan untuk dilalui motor. Bukankah wakil gubernurnya menyampaikan narasi 'sakti'. "Kemacetan disebabkan pejalan kaki", ujarnya mantap. Bahkan kemacetan Jakarta harus diselesaikan secara simbolis. Tidak perlu overspekulasi. Biarkan mereka menaiki trotoar. Jalan raya sudah tidak cukup lagi mengakomodir jumlahnya.
Motor pun mulai dilepasliarkan. Padahal tujuan pembatasan motor adalah untuk penataan dan pengurangan kendaraan pribadi. Sehingga lebih banyak masyarakat menjadi penumpang transportasi publik. Jalan Thamrin dan Sudirman yang merupakan etalase ibukota akan kembali diramaikan motor. Alasannya, supaya tidak terjadi diskriminasi. Silahkan melewati segala jalan yang bisa dilewati. "Kami akan hanya tersenyum", ujar sang pelaksana pelayanan publik.
Pengamen-pengamen juga akan disambut. Bukankah mereka berhak untuk mendapatkan rejeki di kota ini. Anak-anak tidak masalah tidak sekolah. Yang penting mereka bahagia di jalan raya untuk membantu orang tuanya bekerja. Mereka tentunya lebih menghasilkan dari pada harus menghabiskan waktu di ruang-ruang sekolah yang belum tentu menjanjikan masa depan yang lebih baik.
Tidak hanya pengemis dan pengamen yang disambut. Sampah-sampah juga sudah mulai dihadirkan. Selokan-selokan dulu yang bersih dan genangan yang lebih jernih, sekarang sudah berbeda. Sampah sudah dibiarkan berenang. Selokan penuh dengan sampah. Bukankah lebih baik di selokan dari pada di jalan raya. Mungkin itu argumentasi yang digunakan. Biarlah sampah mendapat tempat di ibukota. Kota ramah harus juga menyambut sampah di kotanya. Siapa pun dan apa pun berhak untuk tinggal di kota yang memiliki gubernur dengan semboyan maju kotanya bahagia warganya.
Penerjemahan ini tentunya bisa menjadi apa saja. Bahagia warganya bisa dijabarkan dalam pembiaran warganya melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan. Penataan trotoar di tanah abang bukanlah perwujudan dari slogan ini.
Pedagang kali lima dibiarkan saja disana. Mereka bahagia dengan berjualan lebih dekat kepada pembeli. Meski pembeli harus bahagia bersaing dengan mobil, motor dan angkot di badan jalan. Tidak penting keteraturan. Kota dengan wajah yang ramah harus bisa membahagiakan warganya. Keteraturan dan kebahagian warga tidak berjalan linier. Â
Tidak masalah pelayanan publik menurun. Fasilitas rusak di beberapa halte Transjakarta. Itu tidak masalah. Biarkan masyarakat bahagia mengantre hanya untuk masuk halte. Antrian makin panjang karena hari sudah sore. Gate yang seharusnya ada tiga menyusut jadi  dua bahkan satu saja. Jangan memusingkan direktur Transjakarta dengan urusan gate yang tidak penting itu. Biarkan saja. Kurangi tanggung-jawabnya. Tidak perlu ngecekkondisi seperti halte di depan Polda Metro Jaya. Nanti direkturnya tidak bahagia.
Dengan cita-cita membahagiakan warganya, Jakarta harus dibuat ramah. Jakarta harus menerima segala sesuatu. Â Gubernurnya yang pernah menerobos jalus Transjakarta juga tiba-tiba teriak soal bahwa jalur itu harus steril. Supaya rakyat senang mendengarnya, tetapi tampaknya makin banyak yang menerobos jalur ini.
Menjadi aneh kemudian jika aturan-aturan itu ditegakkan kembali. Di samping harus berbeda dengan yang dahulu, wajah Jakarta harus ditampilkan ramah. Tidak boleh lagi Jakarta yang kejam. Tidak boleh lagi pelarangan yang mengurangi kenikmatan warga. Jangan sampai warga yang tinggal di pinggir sungai minta dipindahkan di rusun. Mereka sudah bahagia tinggal disana. Menikmati banjir yang katanya mendatangkan banyak bantuan.
Kota Jakarta harus berbeda. Kota Jakarta kini sudah ramah kembali. Mari kita majukan warganya dengan keramahan Jakarta baru. Jakarta yang akan maju melesat meninggalkan yang tidak ingin bahagi. Jadi, untuk semuanya, selamat datang di Jakarta yang kini telah kembali ke sifat aslinya. Kota Jakarta yang ramah.