Mengapa kemudian semuanya bisa berjalan di ruang-ruang sepi. Jika seperti itu terjadi dalam jangka waktu yang lama, bisa dipastikan sistemnya sudah ada. Sistem paralel yang diciptakan untuk menjadi jalan tol mendapatkan gelar. Sementara wajah-wajah kuyu penuh pengharapan dan pengabdian terhadap pencapaian murni itu harus berjalan tertatih-tatih di jalan yang seharusnya.
Sudah seharusnya benteng terakhir ini direvitalisasi. Jika hanya rektor yang dipecat, itu hanya pucuknya saja. Tidak berhenti sampai disitu. Tidak mungkin itu berjalan tanpa sistem yang sudah ada. Sistem yang tertutup rapat. Mungkin sistem sel, sehingga tidak bisa terlacak. Tetapi sistem sel yang jauh menusuk ke bumi republik ini.
Wahai para "pengejar ilmu", malulah untuk mendapatkan gelarmu dengan cara-cara pintas itu. Malulah pada dirimu sendiri. Tidak perlu malu dengan kami. Sebab dirimu bisa bermain sandiwara dengan baik. Tetapi dirimu. Mungkin anakmu. Malulah dengan kepalsuan yang kau dapatkan. Meskipun itu menghadirkan kenikmatan bagimu. Itu hanya sesaat.
Dan untuk itu, tidak hanya rektornya, gelas-gelar yang telah disematkan dengan cara curang itu pun harus dipunahkan. Jangan biarkan mereka tetap memasangnya. Mau dikemanakan muka republik ini jika demikian caranya. Mau ke mana wajah-wajah hasil pendidikan Indonesia di tengah bangsa-bangsa yang berlomba menciptakan mutu pendidikan yang bisa mendatangkan devisa.
Jika tidak, maka akan selamanya bangsa ini dijajah oleh bangsa lain. Mungkin kita tidak dibawah todongan senjata. Tetapi, todongan persaingan di mana kita selalu kalah dan menjadi lapis terbawah dari piramida kehidupan.
Mulailah dengan pendidikan. Pendidikan membuka kesempatan dan kejayaan di mana pun. Tidakkah demikian wahai para pemimpin? Mungkinkah di tengah benteng integritas yang runtuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H