Itu menjadi semacam utopia melihat beberapa kejadian belakangan ini. Kampus tidak lagi menjadi tempat pemurnian hati nurasi. Kampus tidak lagi menciptakan agen-agen perubahan yang membawa nilai-nilai luhur.
Pendidikan untuk mencerahkan umat manusia. Itu tujuan mulianya. Setidaknya bisa dipahami seperti itu. Tetapi dengan terjadinya penganugerahan gelar yang diragukan, melakukan proses percepatan dan jual menjual gelar akademis, apa lagi yang diharapkan dari dunia kampus?
Seharusnya di kampus manusia berlelah-lelah untuk mendapatkan gelar. Bukan pada gelarnya intinya sebenarnya, tetapi pada pengakuannya. Pengakuan atas intelektualitas yang dicapai dengan proses dialektika, logika, dialog, monolog, analisis, riset dan proses-proses lazim di universitas.
Gelar hanyalah sematan. Sebuah pengakuan atas sebuah proses yang sangat mulia. Proses mencari ilmu demi meningkatkan harkat manusia. Baik bagi individunya maupun masyarakat luas. Ilmu-ilmu yang dikembangkan di kampus, setidaknya menetes jauh ke masyarakat. Sehingga nilai-nilai murni dan luhur tadi dapat mewarnai kehidupan masyarakat.
Tampaknya yang terjadi adalah sebaliknya. Nilai-nilai buruk yang ada di liarnya kehidupan masyarakat dibawa memamasuki relung-relung dunia pendidikan. Dalam ruang-ruang sempit baik maya maupun nyata, nilai-nilai itu diseludupkan. Tujuannya satu. Pengakuan. Tujuan dari mendapatkan pengakuan itu, meninggikan martabat.
Apalah artinya semua itu jika nilai-nilai yang seharusnya bagian dari proses itu dibuang ke tempat sampah. Jauh-jauh ditempatkan di ruang busuk peradaban. Dibiarkan disana menjadi fosil yang diam tidak berguna. Karena mereka telah dengan sengaja menggantikannya dengan nilai-nilai kusam yang dengan cepat dapat menghasilkan dan membengkakkan pundi-pundinya.
Lalu mereka dengan gagahnya menyematkan gelar itu di balik gelar lain yang mungkin diraih dengan cara yang sama juga. Lalu, membusalah mulut mereka berbicara tentang nilai-nilai baik, murni, luhur bangsa ini. Lalu berucaplah dia betapa nilai-nilai itu mengalir deras dalam tubuhnya. Sederas darah mengalir dari jantungnya ke otaknya. Sederas helaan nafasnya. Lalu, dia berbalik dan tersenyum, aku menipu kalian.
Kampus yang seharusnya menjadi benteng terakhir dari pencucian hati nurani telah menjadi kubangan busuk yang dibiarkan meluas dan memerciki siapa saja yang ada disekitarnya. Kubangan itu menutupi wajah-wajah asli. Sayangnya kubangan itu juga mengotori jiwa-jiwa itu.
Kampus harus kembali disucikan. Jangan menjadi tempat bibit-bibit busuk disemai. Proses belajar itu merupakan perjuangan panjang yang dicapai tidak dengan mudah. Tidak ada yang mudah untuk mencari kemurnian. Tidak ada yang mudah untuk menemukan keindahan. Alam juga sudah mengajarkan demikian. Tempat-tempat indah itu selalu tersimpan di tempat yang tersembunyi. Di tempat-tempat yang tidak mudah dijangkau.
Jika kemudian semua dipermudah atas nama uang, atas nama kenikmatan, lalu apa lagi gunanya bergelar tinggi itu? Nurani telah runtuh untuk bisa menyandingkan gelar dengan nama yang ditukar dengan lembaran uang itu. Uang itu mungkin juga didapatkan dengan cara-cara curang.
Biasanya seperti itu, uang setan dimakan jin. Jadi, untuk membeli gelar, maka kemungkinannya menggunakan uang curian juga.