Beruntung rasanya, dalam dua bulan terakhir ini berkunjung ke dua provinsi paling ujung Pulau Sumatera. Pertama ke Aceh. Tidak terasa lagi dinamika politik di provinsi yang terkenal dengan sebutan Serambi Mekah. Riak-riaknya sudah tenang. Irwandi Yusuf terpilih kembali, setelah sempat istrahat lima tahun. Malah sekarang muncul sebagai gubernur yang melakukan kunjungan kerja dengan pesawat pribadi. Suara-suara di masyarakat sifatnya positif. Irwandi pada kepemimpinan yang sebelumnya, 2007-2012, memberikan kesan manis bagi penduduknya.
Di Sumatera Utara, pemilihan gubernur akan dilaksanakan pada tahun 2018. Sudah ada yang mulai menjagokan diri untuk menjadi gubernur periode berikutnya. Petahana, Tengku Erry, masih berniat. Tag line-nya, yang muncul di banyak spanduk, yang bertebaran hingga ke wilayah perkebunan, yakni lanjutkan! Maruar Sirait, politisi dari Jakarta sudah beriklan. JR. Saragih, Bupati Kabupaten Simalungun juga bermimpi. Pangkostrad juga pulang kampung. Menurutnya, belum ada yang serius mengurus Sumut. Sumut, yang sering dipelesetkan menjadi 'semua mesti uang tunai'.
Tetapi dari dua provinsi itu, ada satu yang sama dan tampak jelas. Spanduk-spanduk Partai Demokrat bertebaran dimana-mana. Spanduk kemungkinan dibuat oleh anggota DPRD atau politikus lokal Partai Demokrat. Dan disetiap spanduk itu, dengan berbagai ukuran, terpampamg wajah Agus. Bener! Agus Harimurti Yudhoyono, sering disebut AHY.
Wajah muda, segar, dengan tampang yang memukau dan anak petinggi Partai Demokrat serta calon pemimpin bangsa, setidaknya yang dimajukan Demokrat, menjadi 'jualan' yang dijajakan. Pada pemilihan gubernur DKI yang lalu, 'magic' Agus diuji. Masih belum beruntung. Terpental dahsyat di putaran pertama. Hanya mencapai kurang dari 18% suara. Namanya juga test the water, jadi tidak terlalu jadi masalah.
Proses uji publik dilakukan lagi dengan menguarkan pencalonan Agus di perebutan gubernur Jawa Timur. Mungkin karena takut dengan kharisma Risma, walikota Surabaya sekarang, dorongan itu tidak diteruskan. Tetapi ambisi besarnya tetaplah menjadi presiden di negeri ini.
Apa yang ada di benak Pak Esbeye memang sangat susah untuk ditebak. Setidaknya fakta yang terjadi beberapa waktu lalu. Setidaknya semasa pilkada DKI 2017 yang lalu. Apa yang dipersiapkan, setidaknya dalam benak banyak orang, tidak dimunculkan ke permukaan.
Khalayak pasti paham kalau Ibas adalah sang pangeran. Setidaknya gelar itu diberikan karena Pak Esbeye sepertinya mempersiapkan Ibas untuk menjadi petarung dalam dunia politik Indonesia yang selalu bergolak. Menempatkan Ibas di posisi Sekretaris Jenderal menjadi kata kunci yang bisa dijadikan patokan.
Ibas akan menjadi politikus besar, karena langsung diterjunkan menjadi sekretaris jenderal partai. Menjadi orang kedua di partai tentunya memberikan akses kepada semua informasi, kondisi, pertarungan di dalam dan luar partai serta modalitas lainnya. Akses ke ketua partai dapat dilakukan sambil leseh-lesehan menikmati kopi pagi di teras rumah.
Tetapi nyatanya, apa yang terjadi tidak sama dengan yang dipersepsikan khalayak lainnya. Pada pemilihan kepada daerah DKI yang baru lalu, Agus melibas Ibas. Entah apa yang membuat itu menjadi seperti itu. Sepertinya, penerus dinasti kepemimpinan negeri ini dititipkan ke Agus, bukan Ibas.
Ibas menjadi seperti terpojok dan sendirian. Posisi di menara gading tidak memberikan banyak keistimewaan kepadanya. Kemunculan di wilayah publik juga sangat terbatas. Suara-suaranya selalu terdengar pelan, Jika pun Ibas bersuara, khalayak sepertinya tidak yakin bahwa suara itu milik Ibas.
Coba simak suara Ibas ketika berkomentar soal banyak hal. Itu diragukan suara murni Ibas. Itu seperti suara dari sang Ketua. Lewat Ibas, dengan upaya memberi sedikit panggung kepadanya setelah mungkin 'tidak terima' dengan menjadi sektretaris jenderal terus.
Tetapi hitungan-hitungan politik punya algoritma sendiri. Algoritma yang memasukkan berbagai macam variabel. Meskipun pada akhirnya yang menjadi keputusan adalah suarat tertinggi yang dimiliki ketua partai. Begitulah partai di Indonesia.
Ibas tidak diberikan peran lebih. Tetapi Agus diberikan podium. Lihatlah ketika Agus menjembatani hubungan Esbeye dengan istana. Kunjungan Agus ke Istana bisa dianggap sebagai political envoy dari Demokrat terutama ketua partainya. Setidaknya, itu dipahami dari peristiwa berikutnya, yakni berkumpulnya para mantan presiden dan wakil presiden di istana dijamu oleh Jokowi.
Pertemuan bersejarah selanjutnya juga mewujud. Akhirnya, momen-momen yang ditunggu-tunggu itu terjadi. Esbeye berjabat tangan dengan Megawati. Meskipun terkesan kaku, setidaknya 'perseteruan' politik dan personal itu dapat mencair sedikit. Pesan yang mengalir positif dan menenangkan. Dalam hati mereka, siapa yang tahu.
Pastinya, Agus memiliki peran dalam dua kejadian penting bangsa ini. Belum pernah dalam sejarah ada perkumpulan para mantan presiden, wakil presiden dan presiden dalam satu ruangan dan bisa kelihatan 'akrab'. Meskipun hanya di depan kamera.
Agus memainkan politik tingkat tinggi. Dalam usianya yang masih sangat muda dan tidak bergelut dalam politik, Agus memiliki kepiawaian dengan terlebih dahulu mendekati anak Jokowi. Orang tua pasti senang jika anak-anak saling dekat dan berteman. Jika demikian, maka orang tua bisa dipastikan cair hubungannya. Setidaknya Esbeye menerima undangan Jokowi di peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-72 itu, yang dilaksanakan dengan tema Bhinneka Tunggal Ika.
Selanjutnya, Agus dipersiapkan untuk tugas-tugas yang lain. Meskipun Agus tidak memiliki posisi di partai, tetapi tampaknya tempat untuk Ibas untuk menjadi pemimpin di negeri ini, tidak akan disediakan. Memajukan Agus, dalam hitung-hitungan Esbeye, mungkin lebih masuk akal.
Agus masih sangat muda. Agus memiliki fisik yang banyak dikagumi wanita. Ini mungkin menjadi pendorong Esbeye. Karena Esbeye terkenang dengan kemengangannya dulu, yang banyak dipilih pemilih perempuan karena kegantengannya.
Agus juga terkenal dengan gayanya yang kalem dan bersuara tegas dan memiliki kharisma. Karir di militer membuat Agus tampil lebih teratur dan disiplin. Tidak kurang tutur katanya ketika berpidato pun seperti memimpin pasukan. Tetapi, ini tentunya bisa dipoles. Masih banyak waktu bagi Agus untuk memperbaiki penampilan alias public appearance-nya.
Untuk memperkuat ketajaman nalar Agus dalam isu-isu terkait publik, Esbeye menempatkan Agus sebagai direktur eksekutif di Yudhoyono Center. Semacam lembaga think thank yang bergelut dalam isu-isu ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Jabatan ini dipegang pria yang terakhir berpangkat mayor di tentara sejak Mei 2017. Diharapkan, Agus menempa diri di institute ini, sehingga memiliki pemahaman yang lebih mumpuni di bidang-bidang yang terkait dengan pemerintahan dan politik. Isu-isu yang dengan mudah 'diolah' sesuai kepentingan.
Setidaknya dapat dipahami juga kalau institute ini akan menjadi semacam think thank partai Demokrat untuk lebih memahami dinamika politik dan hal terkait lainnya di Indonesia untuk kemudian digunakan dalam menciptakan strategi pemenangan, baik suara partai maupun calon-calon pemimpin yang didukung oleh partai ini. Tentunya, termasuk Agus dan bukan Ibas.
Tinggallah Ibas di posisi sekretaris jenderal. Posisi menjadi pemimpin, baik level gubernur sekalipun tidak pernah dilekatkan ke dirinya. Anak kedua Esbeye dan menantu Hatta Rajasa ini harus puas dengan posisinya sekarang.
Ibas menatap Agus yang melesat dengan mantap seperti Rossi mengambil  balap di tikungan. Tetapi, Agus tidak mengambilnya. Esbeye membimbing Agus mengambil posisi puncak di tikungan politik itu.
Ibas masih harus menunggu. Entah apa rencana Esbeye untuknya. Agus berhasil 'melibasnya' di tikungan. Agus menjadi presiden, dalam kacamata Demokrat, hanya soal waktu. Sekarang, Esbeye dan mesin partai Demokrat sedang mengasahnya. Sembari sekali-sekali memberi kesempatan kepada Ibas untuk bersuara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H