Untuk kedua kalinya, penulis mengguratkan tulisan untuk menanggapi artikel yang ditulis Franz Magnis Suseno. Kali pertama terkait hukuman mati. Kali kedua ini terkait artikel beliau berjudul Perang Melawan Rakyat? dalam rubrik opini di Kompas cetak edisi hari ini, Rabu 6 September 2017. Artikel itu secara umum mengenai ketidaksetujuan Franz Magnis Suseno terkait pelarangan penggunaan jalan Rasuna Said dan Sudirman bagi sepeda motor pada jam kerja. Seperti yang diwacanakan oleh pemerintah DKI Jakarta.Â
Dalam argumentasinya secara sederhana bisa digambarkan bahwa karena rakyat memiliki motor dan membayar pajak, maka tidak selayaknya pelarangan itu dilakukan. Karena sepeda motor adalah lambang kebebasan dan juga lambang keberhasilan dari warga Jakarta dalam bertarung dan memperjuangkan hidupnya. Pertama yang menggelitik penulis untuk membuat tulisan ini adalah bahwa tulisan tersebut adalah tulisan yang sama dengan tulisan sepuluh tahun yang lalu di Kompas Cetak dan juga rubrik opini.Â
Sepuluh tahun dengan ulasan dan alasan yang sama untuk menolak wacana pelarangan sepeda motor di bilangan Jalan Rasuna Said dan Sudirman rasanya kurang pas. Bukankah di Jakarta dalam sehari banyak sekali terjadi perubahan. Apalagi dalam sepuluh tahun. Artinya kondisi yang dulu dan yang sekarang sudah sangat jauh berbeda. Coba kita lihat beberapa statistiknya.Â
Berdasarkan Dokumen Statistik Transportasi yang dikeluarkan pada 2015 menggambarkan data jumlah sepeda motor tahun 2010 hingga 2014 dengan pertumbuhan rata-rata per tahun 10,54%. Pada tahun 2010 jumlah sepeda motor-yang mendominasi kendaraan bermotor di Jakarta dengan persentase 74,66%-berjumlah 8,7 juta. Pada tahun 2014 jumlahnya mencapai 13,08 juta kendaraan. Dengan pertumbuhan 10,54% per tahun, maka secara kasar jumlah kendaraan pada 2007 berkisar 6,27 juta dan pada 2017 berkisar 20, 19 juta kendaraan.Â
Dari sisi ini saja bisa dibayangkan bahwa kepadatan yang ditimbulkan sudah sedemikian mengkhawatirkan. Setidaknya dengan bertambahnya sepeda motor lebih dari dua kali lipat, maka okupasi luas jalan juga bertambah drastis. Dalam konteks pelarangan ini selalu memang terjadi dikotomi.Â
Para pesepeda motor mengatakan bahwa yang mengakibatkan macet adalah mobil. Sementara para pengendara mobil mengatakan bahwa yang menyebabkan macet adalah pesepeda motor. Dari segi jumlah, mari kita bandingkan. Dengan perbandingan 1 berbanding 4, maka secara relatif jumlah motor lebih banyak daripada mobil dalam hal okupasi luas jalan. Jumlah mobil pada tahun 2017 mencapai 4,2 juta kendaraan. Jadi 1 mobil berbanding dengan kurang lebih 5 motor. Lima motor relatif memiliki keluasan lahan jalan yang lebih dari pada 1 mobil. Basis ini bisa digunakan untuk kebijakan pengurangan motor, meskipun masih sangat dapat diperbedatkan.Â
Layanan Publik Adil Bagi Semua
Pemerintah dalam kerangka pelayanan publiknya tentunya memiliki diskresi untuk setiap masyarakat, baik masyarakat kaya maupun masyarakat miskin dalam penggunaan barang-barang publik seperti jalan raya.Â
Meskipun dalam kenyataannya, pengguna sepeda motor selalu diistimewakan, setidaknya dalam sebuah kejadian kecelakaan antara mobil dan sepeda motor. Sepeda motor selalu 'dimenangkan' karena dikotomi kaya miskin, kuat lemah serta orang besar orang miskin itu.Â
Pelayanan publik yang sama dalam artian kebutuhan para pengguna mobil dan pengguna sepeda motor harus diperhatikan. Terkait ini, Ahok pernah menggunakan frasa yang berbunyi 'saya tidak berpihak'. Ini dimaknai pemerintah DKI Jakarta harus memperhatikan kebutuhan masing-masing masyarakat. Tidak hanya kelompok miskin, tetapi juga kelompok kaya.Â
Dalam pemahaman pelayanan yang sama tersebut, pemerintah DKI telah melakukan berbagai kebijakan terkait kendaraan bermotor ini baik bagi mobil maupun sepeda motor. Kebijakan mobil berpenumpang tiga pernah dilakukan selama13 tahun. Dimulai pada Desember 2003 oleh Sutioso dan diakhiri pada April 2016 oleh Ahok. Pengakhiran kebijakan ini karena terjadi dampak kemanusiaan yang menyedihkan, perjokian.Â