Pemilihan kepada daerah Jakarta telah usai. Sejarah akan mencatat segala proses yang terjadi di dalam perebutan kekuasaan di kursi nomor 1 DKI itu. Kekuasaan di Jakarta memiliki gengsi tertinggi di bandingkan kekuasaan di tempat lain di Indonesia. Dengan begitu, segala upaya dilakukan untuk merengkuhnya.
Sentimen negatif dari dunia internasional tentang pelaksanaan pilkada dan terpecahnya masyarakat dengan polarisasi yang sangat diametral menjustifikasi bahwa proses yang dilakukan sangat ‘banal’ dalam pengertian terkait cara-cara yang melanggar hal paling sensitif di negeri ini. Politik identitas terpaksa digunakan pemenang untuk mengalahkan segala kilau yang dimiliki petahana. Terdapat anomali dimana kepuasan terhadap kinerja petahana yang mencapai 76% tidak linear dengan elektabilitas. Mungkin kinerja tidak penting bagi sebagian orang.
Di dalam kampanye dan pasca kemenangannya, Anies selalu menggunakan kata-kata bersama-sama, kebersamaan dan bekerjasama. Kata ini diulang-ulang secara terus menerus sehingga melekat dalam dirinya. Penggunaan kata-kata ‘mistis’ ini dalam kampanye-kampanye Anies bisa ditarik ke belakang sebelum Anies menjadi menteri. Program-program besar yang dia bangun seperti Indonesia Mengajar, Gerakan Turun Tangan dan Tenun Kebangsaan tentunya lekat dengan kata kebersamaan ini. Bahkan dalam cuitannya pada 11 Mei kemarin pun masih tetap menggunakan jargon kebersamaan itu. Anies mencuit, “Kunci memajukan kota ini adalah ketika kita mau bergerak membangun manusianya bersama-sama”.
Kata-kata bersama ini memang sangat menarik dan simpatik. Seakan semuanya mengerjakan dan mendapatkan hasilnya karena kebersamaan dan upaya-upaya bersama ini. Tetapi, sering sekali itu tidak terjadi. Bahkan di beberapa kesempatan sering penulis mendengar pejabat yang mengatakan hal seperti ini.
Ini adalah kerja bersama. Karena bersama akhirnya tidak ada yang mengerjakan”. Satu lagi, menggunakan kalimat ini tanggung-jawab bersama dan nyatanya tidak ada yang bertanggung-jawab. Bersama-sama berarti output-nya tidak ada, hasilnya malah nol, berantakan, kacau, tidak menghasilkan.
Bagaimana sebenarnya melihat dua kontras ini. Ketika bersama-sama sebagai suatu mantra sangat menarik, sementara dalam ranah praksisnya sering kali kebersamaan menjadi sebuah bencana, karena memang seperti ucapan pejabat tadi, karena bersama, semua menjadi merasa sudah ada orang lain yang mengerjakan. Karena tanggung-jawab bersama diartikan sudah ada yang bertanggung-jawab untuk itu. Hasil akhir, tidak ada yang bekerja dan tidak ada yang bertanggung-jawab.
Tragedy of the Common
Gejala di atas bisa setidaknya dilihat dari kacamata pandangan yang disebut tragedy of the common yang digagas oleh William Foster Lloyd (1794-1852) seorang pakar ekonomi Inggris pada 1883. Tragedy of the common dijabarkan sebagai sebuah situasi dalam sistem ekonomi yang berbagi dimana para konsumen bertindak secara independen menurut kepentingannya sendiri dan bertindak berlawanan dengan kebaikan semua orang dengan merusak dan mengeksplorasi tanpa batas sumber daya secara bersama-sama. Konsep ini dimuat dalam sebuah esai yang menggunakan gambaran dimana para peternak sapi bergantung pada sebidang padang rumput yang semua orang memiliki akses untuk memasukinya dan mengambil manfaat.
Setiap peternak bebas untuk menambahkan jumlah sapinya yang mengakibatkan terjadinya jumlah rumput yang diambil lebih banyak. Untuk setiap tambahan ternak tersebut, peternaknya mendapatkan keuntungan, tetapi secara kelompok, akan mengalami kerugian. Dengan masing-masing peternak melakukan tindakan yang rasional secara ekonomi, padang rumput bersama itu akan berkurang dengan cepat, rusak bahkan musnah sama sekali. Ketiadaan kontrol dan peraturan serta membiarkan akses ke setiap orang tanpa regulasi yang jelas menyebabkan kerusakan dan kehancuran.
Dengan membuka akses kepada setiap orang dengan motif ekonomi masing-masing yang pada intinya adalah memaksimalkan kepuasan dan keuntungan pribadi, maka barang-barang publik itu akan rusak dan tidak mendapatkan manfaat bagi keseluruhan sistem.
Demikian juga halnya dengan pelayanan publik dan barang-barang publik. Memang pemerintah dalam konteks memberikan pelayanan publik harus memberikan akses yang baik ke masyarakat tetapi tidak pada pengambilan keputusan dan penggunaan sarana dan prasaran publik untuk kepentingan pribadi secara berlebihan.