“Pak Jokowi, Bapak bayar listrik tidak tinggal di istana? Pak Jusuf Kalla dan Bapak Menteri juga bayar listrik tidak? Mudah-mudahan bayar ya, Pak. Kalau tidak, malu sama rakyat dengan listrik 900 watt. Bukan apa-apa, pelanggan 900 watt dan mungkin 1300 watt belum tentu berada juga, Pak. Oya, sukses terus buat bapak”
Demikian sepenggal pesan dari seorang teman di facebook. Pesan kekesalan yang ditujukan kepada presiden, karena per 1 Mei 2017 akan ada lagi perubahan tarif listrik untuk pelanggan 900 watt. Menurut pemilik akun tersebut, akan terjadi kenaikan listrik. Sementara pemerintah mengatakan akan ada penyesuaian tarif listrik. Pendapat mana yang benar?
Perbedaan pendapat pemerintah dan masyarakat tentunya sangat tergantung pada sudut pandang yang digunakan. Pemerintah mengambil sudut pandang keuangan pemerintah yang pada intinya melakukan penghapusan subsidi terseleksi untuk menerapkan subsidi tepat sasaran dan penyedian dana untuk pembiyaan pembangunan.
Sementara masyarakat menganggap ini tetap saja kenaikan listrik. Pastinya, karena jumlah rupiah yang dibayarkan pasti akan lebih besar. Kenaikan tarif listrik yang berakibat pada kenaikan biaya hidup.
Subsidi Tepat Sasaran
Idealnya, memang pemerintah harus menyediakan segala kebutuhan masyarakat secara gratis. Pastinya, ini sesuatu yang utopis, karena barang dan jasa yang diberikan tetap saja barang ekonomis yang terbentur kelangkaan. Tetapi, tetap pemerintah memberikan subsidi sesuai kemampuan.
Saat ini, pemerintah perlu mengurangi kenikmatan masyarakat untuk memperluas ruang fiskal penyediaan barang publik tersebut. Salah satunya lewat realokasi subsidi listrik bagi masyarakat 900 watt yang dianggap mampu.
Subsidi sebagai sebuah instrumen pelayanan publik, memiliki beragam beragam definisi. Menurut Nota Keuangan dan RAPBN, subsidi merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Dalam konteks pemerintah, subsidi ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.
Di negara-negara yang menganut konsep negara kesejahteraan (welfare state), pemerintah menyediakan banyak sekali fasilitas publik lewat berbagai instrumen termasuk subsidi. Yunani menerapkan konsep welfare stateyang sangat kental, malah cenderung sosialis. Pemerintah Yunani sangat memanjakan masyarakatnya dengan berbagai fasilitas dan kenyamanan lainnya. Di Yunani penduduknya boleh pensiun di usia 45 tahun. Lalu pemerintah membayar pensiunnya sampai meninggal. Pengangguran juga mendapat jatah. Pekerja mendapatkan bonus gaji beberapa kali dalam setahun. Biaya-biaya lain digratiskan. Masyarakat terbiasa dengan kehidupan yang ‘kelas tinggi’. Padahal, pendapatan Yunani terbesar hanya dari sektor parawisata dan tidak cukup untuk membiayai kehidupan ‘nikmat’ rakyatnya. Sehingga Yunani berhutang sangat besar hingga 250 milyar Euro, karena program-program kenikmatan yang diberikan lewat berbagai fasilitas subsidi itu.
Dalam bukunya Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik, Bustanul Arifin (2001) menyatakan subsidi besar yang digunakan untuk program-program populis cenderung menciptakan distorsi baru dalam perekonomian. Subsidi-subsidi yang dimaksudkan untuk menciptakan suatu struktur insentif, ternyata menghasilkan inefisiensi. Inefisiensi itu bisa diterjemahkan sebagai subsidi yang dinikmati oleh mereka yang tidak berhak, seperti yang dialami subsidi bahan bakar minyak, dan tarif dasar listrik, subsidi bahan pangan dan sebagainya.
Di tingkat teori dan strategis, pemberian subsidi masih dapat dibenarkan sepanjang dirancang untuk sasaran yang tepat (well-targetted) dan tetap memperhitungkan sisi efisiensi dan kemampuan keuangan negara (ruang fiskal pemerintah).