Setiap lingkungan memiliki aturan tersendiri. Aturan sebagai panduan untuk masuk menjadi bagian dan bermain di dalam lingkungan tersebut. Lingkungan itu memiliki penguasa yang bisa menentukan benar atau tidaknya seorang pemain. Penguasa lingkungan itu juga memiliki hak mutlak untuk mengkategorikan anggota di dalamnya sesuai dengan standar, norma, kritera dan prosedur yang dianut.
Lingkungan yang setengah terbuka itu bebas dimasuki setiap orang, yang tentunya tertarik untuk menjadi anggotanya. Untuk masuk menjadi anggotanya, motivasi setiap orang tidak sama. Variasi motif masuk bisa ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak.
Sama halnya dengan Kompasiana, sebuah ekosistem setengah terbuka bagi para peminat dunia tulis menulis. Walaupun ada juga yang nyinir, jika Kompasianer mencantumkan titelnya sebagai penulis.
Beragam ide masuk dalam ruang Kompasiana walau memang dibatasi dalam beberapa kategori. Aturan yang jelas telah digariskan dalam syarat dan ketentuan. Bahkan Kompasiana melampirkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Upaya ini untuk memastikan kompasianer mengikuti aturan yang berlaku dan tidak berujung di penjara. Upaya ini juga memastikan Kompasiana tidak terseret kasus legal, jika misalnya terjadi karena sebuah tulisan di Kompasiana.
Karena Kompasiana, yang ber-tagline beyond blogging, merupakan media non-publik yang punya aturan, sudah sepantasnyalah setiap kompasianer mengikutinya, termasuk standar, norma, kriteria dan prosedur yang ditentukan.
Keikutsertaan seseorang di Kompasiana pastinya didorong oleh motif tertentu. Motivasinya macam-macam. Ada yang mengaku mau belajar menulis. Ada yang menyalurkan kegelisahan. Ada yang ingin terkenal. Ada yang ingin mendapatkan uang. Ada yang ingin menambah teman. Ada yang ingin meningkatkan rasa percaya diri. Ada yang berlatih menulis sebelum menulis skripsi atau tesis. Ada yang ingin melucu. Ada yang ingin bercanda. Ada yang ingin protes. Ada yang ingin populer. Ada yang ingin gres. Ada yang ingin pilihan. Ada yang ingin headline.
Masih banyak lagi. Ada yang tidak ingin dikenal. Ada yang melempar ‘bom’. Ada yang menuduh. Ada yang menghakimi. Ada yang berspekulasi. Ada yang ber-hoax. Ada yang berani bertanggung-jawab dengan artikelnya. Ini ditandai dengan akun yang tidak menuyul. Ada yang nyaman bersembunyi, meskipun tidak bemaksud ‘jahat’. Ada yang benar-benar menjaga kerahasian, mungkin karena kelompok ‘intelijen’. Ada yang ‘menuyul’. Kompasiana menerima semuanya dengan tangan terbuka.
Bahkan Kompasiana, sebagai bagian dari menghargai upaya-upaya keras dari kompasianer yang sungguh-sungguh mau menulis, menerapkan ‘kastanisasi’. Kasta itu terdiri dari tiga yakni Tak Terverifikasi, Terverifikasi Hijau dan Terverifikasi Biru. Terverifikasi Hijau sebenarnya gampang saja untuk didapatkan, bahkan untuk kompasianer baru sekalipun. Hanya mengisi informasi detil dan melampirkan KTP, jadilah dihijaukan oleh redaksi Kompasiana. Sebutlah admin Kompasiana demikian. Terverifikasi Biru, masih jadi tanda tanya bagi penulis. Pernah mau menanyakan langsung, tetapi enggan kalau mendapatkan jawaban ‘terserah admin’. Jadi mengikuti saja.
Sejatinya, demikianlah adanya. Kompasianer mengikut aturan ekosistem bernama Kompasiana ini. Tidak seharusnya mempertanyakan aturan yang dibuat termasuk keputusan mutlak penguasa Kompasiana.
Hak mutlak Kompasiana
Tetapi namanya Kompasianer, mereka manusia juga. Ada keinginan yang mendesak di kalbu atas beberapa ketidakpuasan itu. Wajar saja ada ketidakpuasan, karena tidak semuanya dapat terpuaskan. Tidak jelas juga berapa jumlah Kompasioner. Pastinya bejibun. Dengan jumlah bejibun begitu, pasti ada yang tidak mau pasrah saja menerima kenyataan.