Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada DKI: Chemistry Tak Hadir di Agus-Silvy dan Anies-Sandi

27 Januari 2017   17:08 Diperbarui: 30 Januari 2017   10:43 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: megapolitan.kompas.com

Di kebanyakan organisasi, puncak manajemen biasanya diduduki seorang pemimpin dan wakilnya. Hal ini berlaku di organisasi pemerintah dan juga swasta. Paket pimpinan ini tentunya dipilih dari orang-orang terbaik yang ada. Ini pakemnya.

Di lingkungan pemerintahan pusat, provinsi dan daerah berlaku hal yang sama. Ada paket pimpinan. Presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil bupati. Pemilihannya dilaksanakan lewat ajang pemilihan kepala daerah yang disingkat pilkada. Paket-paket pimpinan ini dimajukan oleh partai-partai yang berhak mengajukan calon.

Calon-calon yang bertarung di pilkada diharapkan memenangkan kontes, setidaknya untuk partai ini akan menambah ‘keuntungan’ tersendiri. Sehingga calon dipilih dengan elektabilitas tinggi, bukan keahlian tinggi. Pragmatisme partai-partai di Indonesia. Sehingga pasangan ini bisa jadi dipaksakan, diperkenalkan ketika hendak dipasangkan. Ada juga yang petahana yang bisa jadi tidak sukses, tetapi punya modalitas besar. Bisa juga pasangan dari dinasti politik. Semuanya bisa dipasangkan, asal memiliki pendidikan minimal SMA dan elektabilitas tinggi.

Maka ada pasangan istri si anu dengan suami si anu. Ada pasangan bekas istri si anu dengan istri kedua si anu. Terdapat juga pasangan anak si anu dengan pejabat yang mengundurkan diri. Ada pasangan yang dulu ‘kurang berhasil’ dan pengusaha.

Pemilihan paket pimpinan ini dilaksanakan setiap lima tahun di Indonesia. Dalam waktu dekat ini akan dilaksanakan pada 15 Februari 2017. Termasuk DKI Jakarta, dari total 101 pilkada yang diselenggarakan, terdiri dari 7 pilkada provinsi, 18 pilkada kota dan 76 pilkada kabupaten. Seperti diumumkan di laman KPU.

Di DKI Jakarta, pilkada 2017 menjadi yang terheboh. Gaungnya tidak hanya di Jakarta saja. Gaungnya melampaui batas nasional, karena diberitakan berbagai media luar. Magnitude pilkada Jakarta seperti layaknya pilpres. Sebabnya, kehadiran tiga tokoh nasional, yang masing-masing berdiri di belakang pasangan calon gubernur yang akan bertarung.

Soesilo Bambang Yudhoyono berdiri di belakang Agus-Silvy. Megawati mengawal Ahok-Djarot, dan Prabowo menopang Anies-Sandi. Perang pendukung masing-masing calon juga seru dan cenderung berdarah-darah. Untungnya hanya di media sosial. Meskipun harus diwaspadai agar tidak meluber ke wilayah nyata.

Pasangan-pasangan ini ditilik, dilihat dan diperiksa dari berbagai sisi. Karakternya diperhatikan. Tingkah lakunya diikuti. Tindak-tanduknya menjadi keseharian. Beritanya di media menjadi incaran masing-masing pendukung.

Paket pasangan ini berusaha menarik perhatian calon pemilih. Visi dan misi diuarkan. Program-program dijabarkan. Rayuan-rayuan didendangkan. Tampang juga dijual. Tutur bicara yang padat kata menjadi penarik. Kartu-kartu dikeluarkan. Jargon-jargon diterakan. Agus dicap si penghapal. Ahok dicap si mulut comberan. Anies dituduh si jago teori.

Tetapi ada pertanyaan yang mengganjal. Apakah mereka, pasangan kandidat itu saling saling mendukung di antara mereka? Apakah mereka saling berkomunikasi? Apakah mereka memiliki chemistry? Apakah Agus memiliki chemistry dengan Silvy? Bagaimana dengan Ahok dan Djarot? Lalu Anies dan Sandi juga? Apakah itu hadir di antara pasangan-pasangan itu? Ya, chemistry! Tapi, apa itu chemistry?

Chemistry itu Penting

Banyak orang menggambarkan chemistry sebagai perasaan nyambung dengan seseorang, tidak harus kekasih. Meskipun baru berjumpa, anda merasa sudah lama mengenalnya.

Ada lagi yang mengatakan chemistry adalah istilah yang dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana pribadi-pribadi bisa saling komunikasi yang membuat hubungan dua orang bisa menjadi nyaman.

Sebuah referensi lain mengatakan chemistryadalah“In the context of relationships, chemistry is a simple "emotion” that two people get when they share a special connection. It is the impulse making one think "I need to see this person again" - that feeling of "we click". “

Pada intinya chemistryitu menyangkut hubungan antara dua individu yang saling cocok dimana komunikasi berjalin dengan baik dan pertemuan keduanya menciptakan rasa nyaman bagi keduanya. Ada perasaan cocok sehingga terjalin hubungan yang baik. Ada perasaan ‘klik’.

Dalam konteks pemimpin, dimana terdapat paket pimpinan dan wakil pimpinan, maka chemistryini penting. Meskipun secara hirarki, dalam konteks pemerintahan provinsi DKI, gubernur lebih tinggi dari wakil gubernur, tetapi keduanya harus dapat berkomunikasi dengan baik. Bisa berbagi pendapat. Saling canda. Saling percaya. Sehingga pada gilirannya, kerja dan kinerja keduanya mumpuni. Pelayanan publik di Jakarta dapat dilaksanakan dengan baik. Lalu, rakyatnya merasa bangga dengan paket pimpinan mereka.

Amatan di Debat-Debat

Pengamatan dilakukan setidaknya pada kampanye melalui debat-debat, baik oleh media televisi dan juga tentunya oleh KPU DKI. Ahok-Djarot dan Anies-Sandi merupakan pasangan yang sering tampil di debat-debat tidak resmi itu. Sementara Agus-Silvy, karena merasa film India lebih penting, hanya hadir di debat yang diselenggarakan KPU DKI. Debat itu menjadi debat perdana bagi pasangan nomor 1.

Mengamati aksi-reaksi masing-masing pasangan tentunya menarik. Mengamati setidaknya untuk melihat chemistry di antara pasangan. Bagaimana Agus dan Silvy berinteraksi, demikian juga Ahok-Djarot dan Anies-Sandi.

Mungkin, karena baru pertama sekali tampil di publik dengan sorotan kamera dan dengan mekanisme debat, terlihat pasangan Agus-Silvy mengalami sedikit goncangan. Wajah ganteng Agus dan cantik Silvy kelihatan tegang. Komunikasi antara keduanya sangat terbatas. Tidak kelihatan suasana menyenangkan di antara keduanya. Setidaknya bisa dilihat bagaimana lupanya Agus untuk memberikan peran bagi Silvy menjawab pertanyan dari moderator. Smapai kemudian Agus ingat dan akhirnya Silvy mendapatkan gilirannya.

Dengan suara mantap, keras dan tegas, selayaknya militer, tetapi dengan nada dasar yang relatif datar serta tunggal atau monotone, Agus sangat bersemangat untuk menyampaikan visi dan misi serta menjawab pertanyaan. Justru disitu kelihatan Agus seperti menghapalkan sesuatu. Tidak ada tekanan pada kata-kata tertentu. Tidak ada pembahasan dengan Silvy. Kelihatan keduanya mengalami ketegangan yang sama. Agus menghapal. Jadi ingat tokoh Catur di film Three Idiots. Lalu, Silvy ‘berpuisi’, ga jelas. Seperti diucapkan Anies padanya.

Di wilayah tengah, kelihatan pasangan Ahok-Djarot asyik berbincang dan berbagi pendapat serta mencoret-coret sesuatu di kertas. Bergantian menjawab pertanyaan yang diajukan moderator sejak awal. Ahok membantu Djarot jika ada yang miss. Berlaku sebaliknya juga. Candaan terlihat jelas di antara mereka. Tidak ada yang namanya ketegangan menggantung. Hubungan mereka cair, seperti layaknya pemimpin seharusnya. Air muka menunjukan kesiapan.

Ketika ada program yang dipertanyakan oleh kandidat lain, jawaban dan pernyataan santai tetapi cukup menikam keluar dari Ahok dan juga Djarot. Jawaban yang tanpa beban. Sudah tentu tanpa beban. Sebabnya, hampir 80% orang Jakarta puas dengan kinerja duet Ahok-Djarot ini. Mereka sudah mengerjakan segala sesuatu yang mereka sampaikan dan juga yang ditanyakan moderator serta diragukan pasangan lainnya. Tidak ada dusta diantara mereka. Tidak ada yang merasa lebih tinggi di antara mereka. Mereka berbagi tugas. Mereka saling mendukung. Mereka tertawa bersama. Mereka menyerang bersama.

Di sisi lain, ada Anies dan Sandi. Sama-sama berbaju putih, kelihatan kompak. Tetapi ada yang aneh diantara mereka. Tampang Anies kelihatan kecut. Tidak tersenyum. Sandi juga kelihatan kurang ramah. Padahal dia memiliki kegantengan lebih dari Agus. Kurva yang terbentuk dari arah tubuh mereka cenderung cembung, kalau dilihat dari sisi penonton. Jarak antara kedua tubuh juga cukup renggang.

Pasangan ini sedikit lebih santai dibandingkan Agus-Silvy. Tentunya, disamping karena sudah pernah debat, mereka juga lebih pengalaman. Anies pernah jadi menteri pendidikan. Sandi adalah pengusaha sukses. Bebannya tidak banyak, kecuali karena mereka mungkin ‘dikawinkan paksa’ di akhir-akhir batas pendaftaran. Sandy bisa juga kesal, karena seharusnya dia yang dijadikan gubernur, bukan Anies. Tetapi, partai-partai pendukung berkata lain. Jadilah dia wakil gubernur saja. Mungkin ada efek berfoto dengan sosok pembawa kegagalan itu.

Dari gambaran di penampilan para pasangan itu, kelihatan sekali tidak ada chemistryhadir di pasangan Agus-Silvy dan Anies-Sandy. Kerenggangan dan ketegangan semakin mempertegas itu. Reaksi-reaksi terhadap pasangan ketika menyampaikan pendapat juga terlihat menkonfirmasi absennya chemistryitu. Sementara di Ahok dan Djarot,chemistry itu telah lama bersemayam.

Tapi ini hanya pengamatan di debat pertama. Mari kita lihat di debat kedua malam ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun