“The devil is in the details”
Begitulah ungkapan yang terkenal itu dituliskan. Maknanya kurang lebih, salah satunya, dalam sebuah rencana atau program, hal-hal kecil yang terlewatkan bisa menjadi masalah serius kemudian. Makna lainnya, bahwa banyak hal di permukaan sepertinya sederhana, gampang dan mudah dilakukan, tetapi ketika pada tahap pelaksanaan, masalah dan hambatan muncul.
Sederhananya, ketika membuat suatu program, gambaran besarnya akan sangat mudah dibuat. Akan tetapi, ketika mulai hal-hal yang detail, kesulitan itu muncul. Bahkan pada titik tertentu, karena tidak mengerti mengoperasikan dan menjelaskan detailnya, program tidak bisa dieksekusi.
Akhir-akhir ini, dalam rangka pemilihan kepala daerah di Jakarta yang diikuti oleh tiga pasangan kandidat yakni Agus-Silvy, Ahok-Djarot dan Anies-Sandi, sedang bertarung memenangkan posisi gubernur DKI Jakarta. Posisi DKI 1 ini sangat seksi. Dilihat dari jumlah APBD-nya, paling tinggi di antara 34 provinsi di Indonesia. Posisi sebagai ibukota negara menjadikan Jakarta sebagai pusat perhatian di tingkat nasional dan internasional. Posisi gubernur juga dekat dengan pusat-pusat kekuasaan. Presiden, wakil presiden, menteri dan petinggi-petinggi negara lainnya, berada di Jakarta. Posisi ini menarik minat banyak orang.
Untuk menuju kursi DKI 1 itu pada pilkada 2017 ini, para pasangan mencoba menjual programnya untuk menarik minat pemilih. Program-program dijabarkan di setiap kampanye model blusukan. Model lama yang mengundang artis dan mengumpulkan penggembira dan calon pemilih di lapangan sudah usang. Konvoi di jalan raya juga sudah lama dikandangkan.
Dengan intensnya interaksi dengan calon pemilih, program harus dijabarkan dengan baik dan menarik. Program ini menjadi daya jual. Selain itu tampang, pengalaman dan gaya bicara serta sopan santun. Program ini harus dirancang mengena ke hati calon pemilih dan bisa menarik lebih banyak pemilih. Kadang-kadang jurusngecap dan membual juga dikeluarkan. Lalu bagaimana Agus dan Anies membuat programmnya.
Bagi-Bagi Uangnya Agus
Program yang ditawarkan Agus-Silvy yang menguar ke publik cenderung bersifat cash-basis. Program yang ditawarkan dalam janji-janji kampanyenya sangat kental dengan aroma transaksi. Pasangan ini menawarkan berbagai bantuan yang memiliki nilai nominal yang cukup menggiurkan.
Bagaimana tidak menggiurkan. Setiap keluarga miskin diberikan uang Rp. 5 juta rupiah. Uang ini katanya bersifat sementara, meskipun tidak dijelaskan juga dengan rinci periode waktu pemberian program ini, dan alasan untuk menghentikannya.
Program lain yang sifatnya merayu dengan uang yang diluncurkan Agus-Silvy yakni membagi dana Rp. 1 milyar per RW per tahun untuk memberdayakan komunitas. Komunitas masyarakat memang sangat perlu diberdayakan. Tetapi jika setiap RW dibagikan, pertanyaan pertamanya adalah apakah setiap RW memang komunitasnya harus diberdayakan. Bisa jadi, seperti yang banyak ditemui di program pemerintah yang membuat Ibu Susi Pudjiastuti murka. Program-program pemberdayaan ini sering sekali hanya berupa pelatihan-pelatihan yang tidak menghasilkan apa-apa.Output-nya hanya berupa daftar hadir dan paparan-paparan.
Masih bagi-bagi uang. Agus-Silvy memberikan dana bantuan langsung modal usaha Rp. 50 juta per satu unit usaha untuk menciptakan lapangan kerja. Banyak sekali yang harus dilihat disini. Uang pemerintah diharapkan harus menghasilkan barang atau jasa. Dengan memberikan uang Rp. 50 juta per satu unit usaha, maka perlu upaya selanjutnya untuk mendampingi dan mengawasi.