Perlahan pesawat Airbus 300-200 penerbangan KE 626 dari Jakarta ke Incheon mendarat dengan mulus. Penerbangan selama kurang lebih 7 jam berjalan lancar tanpa guncangan yang berarti. Hanya sedikit guncangan yang cukup membuat cemas, ketika berada di atas perairan pulau Jawa. Selebihnya penerbangan terasa menyenangkan karena tanpa guncangan ditambah keramahan para pramugari Korean Air melayani penumpang.
Selepas dari pemeriksaan di imigrasi, bandara megah yang cantik, indah dan grande menyambut. Antrian di imigrasi sepertinya tidak pernah putus. Selalu ada barisan baru dari para penumpang yang baru tiba. Pada Minggu 29 Juni 2016 itu, penumpang dari berbagai negara mengantri dengan tertib sebelum melapor ke imigrasi. Dalam proses di imigrasi, tidak ada pembicaraan yang terjadi antara petugas imigrasi dan pengunjung yang diperiksa. Hanya disuruh melakukan pengecekan sidik jari. Begitu asal bangsa kita diketahui, bahasa di mesin yang digunakan adalah bahasa asal penumpang tersebut. Penulis kaget begitu suara dari mesin itu mengatakan “selamat datang” dan beberapa perintah singkat lainnya dalam bahasa Indonesia, dan selanjutnya “terimakasih”, ketika proses sudah selesai. Tidak ada senyuman dari petugas imigrasi. Mungkin sudah sifat petugas imigrasi pada umumya. Proses pemeriksaan berlangsung cepat.
Bandara Incheon ini muali dibangun pada tahun 1992 dan dioperasikan pada Maret 2011, melayani penerbangan internasional ke banyak negara dengan kapasitas terpasang saat ini mampu mengakomodir penerbangan 44 juta penumpang dengan 410.000 penerbangan per tahunnya. Bandara yang dirancang dengan indah ini masih dalam pengembangan terus-menerus hingga diharapkan pada tahun 2020, dengan penambahan terminal dan runway menjadi 4 buah akan mampu menampung 100 juta penumpang per tahun. Pemerintah Korea Selatan merancang bandara Incheon dengan luar biasa dan memiliki visi ke depan menjadikan bandara ini salah satu dari 10 yang paling sibuk di dunia.
Bandara yang lama, Gimpo Internasional Airport yang masih digunakan untuk penerbangan terbatas domestik dan ke China dan Jepang yang relatif dekat.
Terminal kedatangan penumpang kelihatannya selalu penuh. Selalu ada penumpang yang baru tiba. Bisa jadi karena Korea Selatan sudah mulai berhasil menjual parawisata negerinya. Kunjungan wisatawan ke Korea mengalahkan kunjungan ke Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan oleh kementerian parawisata Korea, kunjungan ke Korea Selatan mengalami peningkatan sejak olimpiade Seoul tahun 1988, mencapai lebih dari 15 juta kunjungan internasional pada 2015 dengan Pulau Jeju dan lokasi-lokasi syuting drama Korea yang menjadi jualannya. Angka ini memang masih kalah dari Malaysia yang mencapai 27 juta pada 2014 dan Singapura lebih dari 15 juta pada 2014.
Para penumpang yang tidak membawa checked-in luggage, bisa langsung keluar dari bandar menuju tujuan masing-masing. Ke Seoul, berbagai transportasi tersedia. Bus selalu ada untuk mengantar penumpang. Taksi yang banyak menggunakan mobil-mobil buatan Korea Selatan siap mengantar penumpang. Kereta komuter dengan dua jenis, ekspres dan reguler siap mengantar penumpang ke jantung kota Seoul. Kereta ekspres tidak berhenti di banyak statisun. Kereta ini langsung ke Seoul. Sementara yang reguler, berhenti di setiap stasiun yang berjumlah 11. Perjalanan kurang lebih selama 56 menit untuk jarak 48 kilometer. Penumpang bergerak dengan cepat. Orang Korea Selatan sama seperti bangsa maju lainnya bergerak sangat cepat, berjalan pun mereka seperti tidak sabaran.
Setelah mencari-cari jalur kereta bandara yang bernama A-Rex, yang dipandu oleh petugas parawisata yang memang dipersiapkan, jalur kereta ke Seoul akhirnya ditemukan. Pembelian tiket dilakukan dengan menggunakan ticket-vending machine. Selalu ada pilihan bahasa Inggris tersedia sehingga memudahkan penumpang dari negara lain untuk mendapatkan informasi dan untuk membeli tiket dengan mudah. Petugas-petugas juga memahami simple English. Tiket seharga KRW 4750 dengan deposit KRW 500 sudah ditangan. Proses pembelian tiket berjalan lancar. Sama seperti di KRL Jabodetabek, deposit KRW 500 ini dapat ditarik dengan mengembaikan tiket.
Selanjutnya mencari jalur kereta api menuju Seoul. Lagi-lagi modal pertanyaan ke petugas yang selalu siap membantu, memudahkan menemukan jalur kereta yang tepat menuju Seoul. Sebagai awal, stasiun kereta berangkat dari Incheon ini termasuk stasiun yang ramai. Penumpang dengan bawaan masing-masing dengan cepat menunggu di antrian. Kereta kemudian muncul setelah 10 menit menunggu.
Pengamatan dilakukan mulai memasuki kereta. Penumpang dengan tertib masuk dengan cepat. Seperti kereta pada umumnya yang tempat duduknya terbatas, maka banyak penumpang berdiri. Kereta langsung penuh, apalagi ditambah bawaan penumpang yang bermacam-macam terutama koper-koper besar dan pernak-pernik lainnya. Kereta tampak bersih. Tidak ada coretan-coretan khas kereta Indonesia dulu. Kereta dibuat senyap dengan kabin yang dilapisi semacam pelapis yang cukup tebal. Kabin kereta berwarna putih pastel ditingkahi sedikit warna-warna kontras.Tingkah canda penumpang tidak terlalu kedengaran. Juga kedengaran dari dalam kabin kereta suara roda kereta bergesekan dengan rel. Guncangan-guncangan ala KRL Jakarta Bogor juga tidak ada sama sekali. Panel-panel LED digunakan untuk memberikan informasi dan sekaligus layanan televisi lokal. Panel penunjuk perjalanan antar stasiun juga menggunakan panel LED. Semuanya berfungsi.
Jalur kereta yang bermula di bandara Incheon yang berupa sebuah pulau hasil reklamasi dua pulau kecil ini mencakup jalur bawah tanah dan jalur atas tanah. Tidak ditemukan persimpangan sebidang dengan moda transportasi lainnya. Semua jalur sebidang diletakkan di bawah jalur kereta. Jalur kereta ini sejajar dengan jalur jalan bebas hambatan menuju Seoul. Jalur jalan bebas hambatan ini tidak tampak sibuk dan padat. Bahkan jarak antar kendaraan cukup jauh. Ini jalur bebas hambatan yang sebenar-benarnya.
Perjalanan sepanjang 48 kilometer berlangsung dengan nyaman. Penumpang seperti di kota-kota besar lainnya sibuk dengan gawai masing-masing. Kesannya bersih dan tidak ada penumpang yang terlihat lusuh. Ada juga yang menggunakan sandal jepit dan tetap kelihatan rapih dan bersih. Masyarakat Korea Selatan terkenal dengan sifat sadar mode-nya.
Di kiri dan kanan jalur kereta yang dibatasi dengan pagar, sekilas menyajikan sifat dari negara Korea ini dan tentunya penduduknya. Lahan-lahan pertanian padi dan sayuran teratur dengan sistem yang modern. Tanaman-tanaman sayuran ditanam di lahan yang cenderung sempit dalam bangunan-bangunan seperti hanggar kecil yang ditutupi plastik. Sementara sawah-sawah ditanami padi dalam skala yang juga sangat kecil. Tidak tampak lahan pertanian terbentang luas seperti dalam perjalanan Jakarta-Bandung di sekitar Karawang.
Di beberapa titik, terdapat kota-kota baru dengan julukan kota internasional. Kota-kota baru ini pada umumnya adalah kawasan bisnis dan industri. Bangunan-bangunan masif seluruhnya vertikal. Lahan memang makin sempit di Korea Selatan. Belum lagi lahan yang layak dibangun juga terbatas karena lahannya di Korea cenderung basah, berawa dan dikelilingi gunung—gunung. Seperti jalur kereta menghubungkan Incheon dan Seoul ini dibangun di atas lahan yang cenderung lembek. Jalur ini juga melewati selat dan sungai Hangang, yang merupakan sungai terbesar di Seoul. Untuk ini, tentunya diperlukan teknologi tingkat tinggi.
Sisi kiri kanan jalur kereta tidak terlibat kekumuhan. Hanya lahan pertanian, jalur jalan bebas hambatan, laut dan sungai yang membentang. Banyak pulau-pulau yang sangat kecil yang bertebaran di semenanjung pantai Barat Korea ini. Bangunan-bangunan dibangun di kaki-kaki bukit dan kelihatan beberapa bukit dipapas untuk memberi ruang bagi bangunan dan jalan. Jalur jalan bebas hambatan dibangun melintasi sungai dan menerobos bukit membentuk terowongan.
Pemandangan sepanjang perjalanan kelihatan bagus. Tidak ada sampah yang bertumppuk-tumpuk seperti layaknya jalur KRL Jakarta-Depok. Pagar-pagar pembatas jalur dengan lahan-lahan penduduk dan pertanian hanya dibuat dari pagar besi biasa yang banyak terdapat di toko-toko di Indonesia. Hanya pagar pembatas di jembatan-jembatan baik yang melintasi jalan raya, sungai dan laut dibuat jauh lebih kokoh.
Tidak tampak pagar-pagar yang dicorat-coret dan digantungi berbagai macam benda. Tidak ada bangunan yang menempel dengan pagar. Bahkan tidak ada pemukiman dalam jarak dekat dengan jalur rel kereta. Penulis juga melirik ke jalur kereta dari jendela, ingin melihat kebersihannya. Tidak ada sampah yang bertebaran. Tidak ada botol-botol plastik dan berbagai benda lainya yang biasa hadir di jalur KRL di Jakarta Depok. Pemandangan kelihatan bersih dan rapih. Bisa dipastikan ini karena secara umum orang Korea tertib dan bersih.
Dalam perjalanan pertama penulis ke Korea Selatan ini memberikan dorongan untuk dapat menikmati dan mengamati sebanyak-banyaknya negara ini, yang sebelumnya hanya diketahui dari bacaan, berita-berita di koran dan juga iklan-iklan perjalanan di koran-koran nasional di Indonesia. Negara yang terkenal dengan berbagai teknologinya dengan jualan budayanya yang luar biasa itu, ingin dinikmati langsung dan melihat sebenar-benarnya negara yang dari dulu terkenal sebagai penghasil ginseng. Ginseng sejenis rempah-rempah yang berbentuk akar-akaran yang khasiatnya bagus untuk kesehatan. Jika dulu, Korea hanya terkenal dengan ginseng, sekarang tidak lagi. Korea indentik dengan kemajuan. Korea sudah berhasil mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di tengah keterbatasan sumber daya termasuk lahan yang tidak melimpah.
Berharap Indonesia, dan juga Jakarta bisa hadir dengan kemajuan seperti Korea Selatan. Padahal, Korea Selatan 5 tahun lebih lambat merdeka dari Indonesia dengan kondisi awal yang hancur lebur setelah perang Korea dan perang saudara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H