[caption caption="Foto Pribadi"][/caption]
Pukul 08.15, kuayunkan langkah buru-buru menuju halte Transjakarta. Jam 10 aku harus sudah tiba di tempat pelatihan itu. Dengan informasi yang minim tentang lokasinya, otakku terus berputar untuk memastikan cara termurah tiba ke sana. Rencananya aku akan naik Transjakarta, dilanjutkan kereta api, lalu turun di stasiun Gondangdia. Lagi-lagi informasi dari teman mengatakan kalau dari stasiun itu ke tempat pelatihan tinggal beberapa langkah saja.
Dengan sedikit tergesa, aku menapaki jembatan penyeberangan orang menuju halte. Aku harus mendaki dua tingkat, lalu jalan di jembatan penghubung kemudian menurun lagi, juga 2 tingkat. Tiba di halte transjakara yang letaknya di median jalan, aku menempelkan kartu ‘saktiku’ di gerbang masuk. Tidak sampai 5 menit sejak menginjakkan kaki di JPO itu, aku sudah tiba di tempat menunggu. Aku memang seorang pejalan cepat.
Ruang tunggu halte ini sangat biasa. Apalagi membandingkan dengan halte-halte bus di negara-negara maju yang pernah kukunjungi. Hanya bangunan dengan dinding terbuka dari metal dengan pintu penghubung ke bus yang tidak bisa tertutup-terbuka seperti disain aslinya. Tidak ada pendingin udara. Layar-layar monitor yang dimaksudkan untuk papan informasi sudah lama padam. Debu sudah menebal di tepi-tepi layarnya. Ada 2 kipas angin yang terpasang. Satu berfungsi dengan baik tetapi diarahkan hanya ke gerbang karcis. Kipas yang satu lagi ‘pingsan”. Kondisi itu membuat suasana menjadi panas. Penumpang sering mengeluhkan ini. Poster-poster usang juga menempel di dinding. Untung tidak banyak.
Melihat sekeliling sarana transportasi publik ini, sepertinya pengelola Transjakarta ini sedikit sudah mengalami ‘revolusi mental’. Jembatan penyeberangan orang sudah sering dibersihkan. Dilap dan dipel setiap hari. Ada petugas untuk itu. Dia harus memastikan tidak ada sampah berserakan. Dinding yang terbuat dari metal itu juga dilap. Bilah-bilah metal yang membentuk dinding halte satu persatu dibersihkan. Kaca-kaca juga di lap di sisi luar dan dalam. Gerbang karcis dibuat kinclong. Lantai dipel seperti layaknya lantai mal.
Kotoran-kotoran disingkirkan bahkan jika agak ‘nakal, dicungkil. Larangan merokok di ruang tunggu halte dilaksanakan dengan tegas. Petugas dengan sigap mengingatkan para perokok yang kurang peduli dengan keberadaan orang-orang di sekelilingnya. Setidaknya, dengan dua hal tersebut, kebersihan yang terjaga dan larangan merokok yang ditegakkan, menunggu bus Transjakarta, yang masih suka ingkar janji itu, menjadi lebih nyaman.
Sistem pembayaran juga sudah menggunakan uang elektronik. Ini merupakan kemajuan yang sangat bagus. Untuk mengoptimalkan pendapatan dan mengurangi praktek-praktek korupsi, penggunaan uang elektronik ini sangat tepat. Disamping mempercepat proses pembelian karcis, berkurangnya antrian, juga membiasakan masyarakat untuk berperilaku efisien. Kartu elektronik multimoda ini sangat membantu bagi para penglaju yang menggunakan transportasi publik dengan sistem pembayaran yang sudah mulai terkoneksi.
Kemudahan pemakaian uang elektronik ini didukung oleh pengguna. “Kalau menurut saya bagus sih e-ticketing. Jadi lebih terkontrol pengeluaran buat naik Transjakarta, enggak perlu keluar uang receh lagi. Praktis," kata Retno, salah satu pengguna e-ticket di halte transjakarta Manggarai, beberapa waktu yang lalu.
Pemandangan itu mulai kelihatan sejak pemerintahan baru, Gubernur Jokowi dan dilanjutkan Ahok. Gubernur Ahok, dengan gaya yang keras dan tegas, memerintahkan semua pelayanan publik diperbaiki. Pelayanan publik harus benar-benar melayani kepentingan publik dan alat-alat pelayanannya berfungsi dengan baik. Dalam kenyataanya, memang pelayanan publik itu sudah agak lebih baik dari sebelumnya, meskipun masih perlu untuk ditingkatkan. Apalagi pembanding yang digunakan adalah pelayanan publik di Singapura.
Pelayanan publik di Singapura diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Mereka mampu membangun dengan standar terbaik dan memeliharanya. Melihat keadaan yang ada di Indonesia, harapannya masih kecil untuk bisa sama dengan Singapura. Bangsa kita ini sudah lama sekali terkenal dengan kemampuan untuk membeli. Akan tetapi, kita sangat kurang dalam menghargai. Kekurangan menghargai artinya kurangnya niat dan kemampuan memelihara.
Pada ranah ini, Ahok juga bekerja keras memperbaikinya. Sistem-sistem yang diciptakan termasuk memilih hanya orang-orang yang bersih, mau bekerja keras dan siap melaksanakan mandat masing-masing untuk melayani rakyat, yang akan dipilih Ahok untuk bekerja dengannya. Para personel yang tidak sesuai dengan standar dan arahannya, akan diganti dengan cepat dan tanpa tedeng aling-aling.
"Saya kadang-kadang nyeselin di Jakarta ini, saya terlambat pecatin orang-orang," kata Basuki, di Balai Kota, Senin (1/2/2016). Ungkapan kesal ini memang sering diungkapkan Ahok karena lambatnya para pasukan balai kota DKI bergerak. Pergantian pejabat menjadi satu hal yang rutin di pemerintahan Ahok.