Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Relokasi Warga, Tanpa Basi dan Bukan Basa Basi

4 Maret 2016   22:12 Diperbarui: 4 Maret 2016   22:20 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Eti (56) warga Kalijodo masih sangat gelisah setelah proses relokasi yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Ibu beranak tiga ini belum memiliki keputusan yang pasti. Pilihan untuk menempati rusunawa yang disediakan pemerintah merupakan satu-satunya alternatif yang dipilih, meskipun pemerintah mempunyai alternatif lain yakni memfasilitasi untuk pulang ke kampung halaman.

Diusianya yang sudah tua, tidak memungkinkannya untuk dapat bekerja lebih keras. Lokasi rusunawa tidak masalah baginya, tetapi unit rusun yang yang diberikan terletak di lantai empat dan di pojok yang sulit baginya untuk mengakses. Begitu detikdotkom menggambarkan kondisi seorang warga terdampak penggusuran kawasan Kalijodo. Masyarakat di bawah jalan layang Pluit juga menjadi gelisah karena mereka akan direlokasi tanpa adanya sosialisasi. Alasan Ahok adalah karena kawasan tersebut sudah dibersihkan sebulan sebelumnya.

Kondisi seperti ini merupakan salah satu contoh permasalahan klasik dalam upaya relokasi warga di Jakarta. Pada kenyataannya, tidak semua kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah karena keterbatasan. Akan tetapi, peraturan tentang Tata Ruang dan Wilayah terkait penyediaan ruang terbuka hijau harus ditegakkan. Kebutuhan lahan untuk permukiman yang terjangkau, juga harus dicarikan pemecahannya. Permasalahan banjir juga harus dituntaskan. 

Kebutuhan lahan untuk berbagai keperluan telah lama menjadi permasalahan di Jakarta. Pertumbuhan kota yang membutuhkan okupasi banyak lahan mengakibatkan terjadinya kelangkaan ruang terbuka hijau. Hal ini tidak terjadi di Jakarta saja, di kota-kota besar di negara manapun ketersediaan lahan ini pun menjadi masalah yang klasik.

Sebagai contoh, Singapura telah menyadarinya sejak kemerdekaan dari Malaysia, bahwa negaranya memiliki sumber daya lahan yang sangat terbatas. Pada tahun 1960-an, 1,3 juta dari 1,9 juta penduduk Singapura tidak memiliki rumah. Singapura juga sadar bahwa setiap penduduknya harus mendapatkan tempat tinggal yang layak dan manusiawi. Pertumbuhan penduduk sebagai suatu keniscayaan harus dimasukkan dalam pertimbangan pengambilan kebijakan untuk penyediaan rumah sehat dan layak bagi masyarakatnya. Pembangunan apartemen dan flat sewa menjadi keputusan pemerintahnya untuk menyediakan tempat tinggal yang layak bagi masyarakatnya.

Di Jakarta, upaya memenuhi luasan ruang terbuka hijau menjadi sulit. Kepatuhan terhadap tata ruang juga rendah. Pemecahan masalah banjir serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah kumuh menjadi sangat menantang. Pemerintah sebelumnya tampaknya tidak memperhatikan permasalahan tata ruang ini sehingga melahirkan permasalahan seperti disebutkan di atas. 

Kebijakan yang tidak tegas mengakibatkan terjadinya okupasi lahan yang rakus sehingga menggerus ruang terbuka hijau Jakarta. Hal ini berujung pada rusaknya lingkungan. Okupasi lahan-lahan hijau untuk perumahan di wilayah resapan air di tepi sungai oleh masyarakat berpenghasilan rendah, berkontribusi terhadap bencana banjir dan terciptanya wilayah kumuh.

Mengembalikan tata ruang kepada fungsinya menjadi perhatian pemerintah yang dipimpin Gubernuh Ahok. Penataan ini dilakukan dengan merelokasi warga dari lahan-lahan yang dianggap menimbulkan masalah. Proses penataan ini harus dilakukan secara komprehensif dalam arti sekaligus menyelesaikan permasalahan ruang terbuka hijau, bencana banjir yang selama ini menjadi ancaman bagi Jakarta dan kesejahteraan masyarakat di wilayah kumuh tersebut.

Relokasi warga sedang banyak dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi masalah perkotaan seperti disebutkan di atas. Masalah yang timbul dari ketidakpatuhan kepada Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Relokasi ini termasuk diantaranya untuk mengatasi banjir yang diakibatkan terjadinya okupasi lahan sempadan sungai. Lokasi-lokasi lain yang akan direlokasi adalah ruang—ruang dibawah jalan layang. Daerah-daerah resapan air dan tampungan air seperti di waduk Pluit, waduk Ria Rio, juga menjadi prioritas.

Dalam perjalanannya, proses relokasi warga ini berjalan dengan rumit. Ada pertentangan antara warga yang direlokasi dengan pemerintah Jakarta. Pertentangan yang bereskalasi tinggi juga pernah terjadi. Proses relokasi Kampung Pulo adalah yang paling banyak disorot, karena menimbulkan pertentangan dari masyarakat dengan pemerintah Kota Jakarta yang berujung pada sebuah ‘pertarungan’. 

Proses yang terjadi oleh sebagian kalangan dianggap dilakukan dengan tidak manusiawi dan semena-mena. Sementara pihak pemerintah DKI menganggap telah melakukannya dengan benar melalui proses—proses dalam peraturan yang ada. Dicurigai, para pihak yang terlibat dalam kerusuhan tersebut adalah mereka yang kehilangan ‘sumber rejeki’ karena relokasi tersebut.

Pada proses relokasi kawasan Kalijodo memang tidak terjadi bentrokan antara pemerintah dan pemukim. Proses yang cepat dan tegas melalui sosialiasi yang sangat singkat berlangsung aman. Ancaman-ancaman dari para pihak yang terdampak, yang terus menerus disuarakan melalui media, tidak terbukti. Seperti diutarakan Gubernur DKI.

"Kalijodo katanya pas penertiban ngancam mau pakai tanktop. Terus, seribu PSK mau bugil. Mana? Enggak ada. Pada nonton semua, kan?" kata Basuki di Balai Kota, Selasa (1/3/2016).

Ancaman tidak terbukti dan relokasi berjalan damai.

Pendekatan yang digunakan untuk melakukan dua relokasi di atas tidak sama dengan pendekatan yang digunakan Kota Solo pada masa pemerintahan Jokowi. Masalah di Jakarta sangat banyak, rumit dan kompleks.

Secara prinsip legalitas, proses relokasi yang dilakukan oleh Gubernur Ahok sekarang sudah lebih bagus, meskipun tidak bisa memenuhi semua kepentingan. Masyarakat sudah disiapkan tempat yang layak dengan pola sewa. Pola ini dipilih karena keterbatasan lahan yang ada tidak memungkinkan lahan menjadi milik masyarakat. Ada kekhawatiran, rusun yang dijadikan milik masyarakat akan dapat diperjualbelikan dan pada akhirnya dikuasai para pemodal besar.

Akan tetapi, ada pendekatan yang bisa dilakukan dan sebaiknya dikerjakan oleh pemerintah Jakarta dengan perencanaan yang menyeluruh dari hulu ke hilir untuk memuluskan rencana penataan wilayah untuk menambah RTH, mengatasi banjir dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.

Relokasi Terencana dan Tegas

Penataan kembali tata ruang memerlukan perencanaan yang baik, penerapan yang benar dan konsisten serta informasi yang jelas dan terang dan juga solusi-solusi yang paling bisa diaplikasikan dan diterapkan. Solusi-solusi yang masuk akal, sesuai dengan kebutuhan dan menjawab masalah lanjutan yang ditimbulkan oleh relokasi itu sendiri.

Pendekatan yang demikian diharapkan berdampak pada penerimaan yang lebih besar dari masyarakat terdampak. Pelaksanaan dengan tegas dan konsisten juga memunculkan kepercayaan kepada pemerintah. Proses relokasi tersebut menjadi tidak basi di mata masyarakat. Para personel pemerintah juga akan menganggap proses relokasi ini bukan basa-basi dan bisa ‘dimainkan’.

Perencanaan dimulai dengan memetakan lokasi-lokasi yang dianggap melanggar rencana tata ruang di seluruh kota Jakarta (City-wide Assessment). Pemetaan ini harus menangkap tingkat permasalahannya termasuk isu-isu administratif dan sosialnya. Masalah administrasi termasuk apakah ada lahan yang telah menjadi milik warga, bangunan-bangunan yang ada apakah memiliki syarat administratif. Dalam konteks isu sosial, pemetaan ini menangkap permasalahan penghidupan masyarakat, penyakit masyarakat antara lain premanisme, prostitusi dan penyalagunaan narkoba. Pemetaan ini akan menjadi baseline untuk memformulasikan penyelesaian masalah secara menyeluruh, serius dan dilakukan dengan tidak basa-basi.

Setelah masalah terpetakan, pemecahan untuk masing-masing lokasi yang akan direlokasi diformulasikan. Terkait dengan aset- aset masyarakat, penghidupan masyarakat, cara relokasinya, penempatan modalitas yang ada. Pembersihan lahan dan rencana pemulihan lokasi dan dijadikan untuk apa, ditentukan. Berapa modal yang diperlukan untuk merestorasi dan siapa yang bertanggung-jawab untuk masing-masing permasalahan, ditegaskan. Penempatan masyarakat dan hak-hak serta kewajiban yang bisa diklaim oleh masyarakat terdampak, dijabarkan.

Selanjutnya, pemetaan dan formulasi penyelesaian yang memuat jadwal pelaksanaan yang rasional ini dikomunikasi ke semua lingkaran penduduk melalui jalur-jalur yang dimiliki oleh pemerintah. Sosialisasi ini tidak hanya untuk kalangan masyarakat terdampak, akan tetapi juga seluruh pemangku kepentingan termasuk para penguasa, media, masyarakat luas Jakarta. Ada kemungkinan gejolak yang terjadi, akan tetapi sebelum relokasi benar-benar dilakukan, hal ini tidak usah direspon dengan jawaban-jawaban yang justru membingungkan. Harus taat pada perencanaan yang sudah diformulasikan.

Masyarakat harus diinformaikan alasan adanya relokasi. Alternatif-alternatif penghidupan mereka juga akan diberikan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka. Proses sosialiasi ini harus memuat suatu konsistensi dan keseragaman informasi dan lewat satu pintu. Semua saluran yang diperlukan untuk mengkomunikasikan program pemerintah ini dan pintu mana yang harus dilalui untuk menyampaikan pengaduan terkait ketidakpuasan, dijelaskan dan diberikan tempat serta personel yang jelas.

Dengan demikian, warga yang berpotensi terdampak akan memiliki waktu untuk mempersiapkan diri, baik dengan alternatif-alternatif yang diberikan pemerintah atau mencari alternatif sendiri. Masyarakat terdampak bisa mengambil alternatif yang disediakan pemerintah yakni pindah ke rumah susun dan melakukan kewajiban dan tanggung-jawabnya sebagai warga rumah susun. Dengan perencanaan ini, pemerintah DKI dapat menyesuaikan dengan kemampuan teknis dan finansialnya. Sehingga ketika relokasi dilakukan, prosesnya dapat diselesaikan dan tuntas sesuai dengan perencanaan awal.

Ini termasuk misalkan pendanaan dan waktu yang diperlukan untuk pembangunan rumah susun yang cukup untuk semua masyarakat sesuai dengan jumlah penduduk yang akan direlokasi. Terkait penghidupan mereka, pemerintah juga harus memperhatikan fasilitas yang dapat diberikan kepada mereka seperti misalnya menyediakan fasilitas transjakarta gratis untuk transportasi ke tempat kerja, lokasi sekolah, pasar dan penyediaan layanan publik lainnya seperti KJP dan KJS.

Akan tetapi, Gubernur Basuki tampaknya tidak seluruhnya sependapat dengan pendekatan terencana ini, seperti yang disampaikan beliau beberapa waktu lalu.

"Saya enggak usah terlalu banyak ngomong mau tertibin di mana. LSM dan pengamat terlalu banyak yang pintar ngomong, pusing saya!" kata Ahok saat melakukan groundbreaking pembangunan gedung parkir di Mapolda Metro Jaya, Rabu (2/3/2016).

Padahal dengan program relokasi yang terencana, tranparan, tegas dan pasti, akan memberikan kesempatan bagi semua pihak untuk dapat mempersiapkan diri dan menerima proses relokasi itu sendiri. Para pengamat, jika pendapatnya relevan maka dapat juga di terima. LSM juga tidak perlu didengarkan jika masukannya sukar dilaksanakan.

Dengan kesiapan masing-masing pemangku kepentingan dan masyarakat terdampak, baik dari segi perencanaan, proses dan implementasi, proses relokasi warga tidak menjadi basi. Tidak menimbulkan gejolak yang berarti, yang bahkan mengakibatkan masalah baru bagi masyarakat dan pemerintah.

Proses pendampingan masyarakat setelah di lokasi rusunawa juga penting. Masyarakat diubah pola kehidupannya dan budayanya. Masyarakat yang biasa membuang sampah sembarangan, misalnya, harus dilatih untuk menjaga kebersihan dan juga pemberian pelatihan untuk menghasilkan pendapatan dari sampah. Pola pendampingan ini juga berpotensi untuk menghilangkan praktek-praktek pencaloan dan jual beli rusunawa oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab.

Dengan demikian, dalam pelaksanaan relokasi warga, pemerintah tidak melakukan tarik ulur yang tidak perlu yang justru menghadirkan ketidaktegasan dan ketidakkonsistenan pemerintah untuk tujuan lebih baik. Pelaksanaan relokasi yang sepotong-sepotong dan terburu-buru akan membuat program relokasi ditolak warga dan menjadi basi. Proses yang tegas dan pasti, menunjukkan bahwa pemerintah tidak basa-basi dalam menegakkan peraturan, dan pada saat yang bersamaan menyelesaikan permasalahan banjir dan meningkatkan kesejahterakan rakyatnya yang kurang memiliki sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun