Hingga hari ini yang menjadi perbincangan dan melahirkan ragam penafsiran di kalangan akademisi adalah diskursus mengenai konsep ekonomi nasional yang sesuai dengan semangat kemerdekaan, ekonomi kerakyatan atau ekonomi pancasila?
Terlepas dari hal itu, yang terpenting adalah ekonomi nasional harus secara mutlak mencerminkan bahwa Indonesia merupakan negara yang merdeka atas penjajahan secara fisik maupun non fisik sejak tahun 1945.
Terutama dalam hal ekonomi yang berbasis pada kekuatan masyarakat yang sejak lama sudah direpresentasikan oleh Bung Hatta melalui Koperasi.
Hingga hari ini, Pasal 33 UUD 1945 menjadi landasan fundamen dalam pelaksanaan sistem ekonomi nasional yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat secara menyeluruh, yang dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya yang ada dengan cara swadaya dan berorientasi pada pemerataan sosial ekonomi masyarakat Indonesia.
Maka dalam hal ini, Koperasi merupakan salah satu Badan Usaha yang sesuai dengan itu, terutama terang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992, tepatnya dalam pasal 3 tentang tujuan Koperasi.
Terlepas dari begitu banyak argumen tentang konsep ideal ekonomi nasional, ekonomi yang berbasis kerakyatan apa pun bentuknya dan sesuai atau pun tidak dengan jati diri bangsa, pasti selalu memiliki ruang tertentu bagi saran dan kritik yang terus berkembang mengikuti arus zaman.
Seperti terbukanya ruang saran dan keritik terhadap kedudukan ekonomi kerakyatan berbasis Koperasi dalam kancah perhelatan era baru (digitalisasi) yang semakin merebak, dan menjurus pada sikap individualis.
Sepintas, gejala tersebut tentu sangat bertentangan dengan nilai Koperasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif-humanis yang lebih mengedepankan simbiosis mutualisme dalam pelaksanaannya, tetapi gejala lain dari digitalisasi memiliki pengaruh positif untuk kemajuan Koperasi Indonesia ke depan.
Tulisan ini berangkat dari pemahaman mendasar tentang Koperasi yang dicanangkan oleh Bung Hatta, bahwa sejatinya Koperasi merupakan konsep ideal perekonomian yang berlatar kekeluargaan, dengan semangat memajukan ekonomi Indonesia dari rakyat.
Namun, kini tantangan akan pemanfaatan Koperasi sebagai sarana memajukan ekonomi secara kolektif, mulai tergantikan dengan ragam platform simpan pinjam atau lainnya, yang dirasa lebih terjamin dari segi keamanan dan kemudahan dalam melakukan transaksi serta ragam tantangan lainnya.
Lapisan Tantangan Koperasi
Jika kita melihat kontribusi Koperasi terhadap perekonomian nasional di tahun 2021, rupanya tidak begitu besar dan hanya mampu menyumbang 5,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara.
Padahal secara pengertian mendasar, Koperasi merupakan konsep ideal pembangunan bagi karakteristik perekonomian Indonesia melalui kelembagaan yang mengedepankan kemanusiaan, kekeluargaan, menghindarkan diri pada bentuk persaingan bebas, monopoli dan perbudakan atas kemanusiaan. Lantas apa yang menyebabkan kontribusi Koperasi terhadap PDB begitu rendah?
Dalam tulisan ini, tercatat lima faktor mendasar yang menyebabkan minimnya kontribusi Koperasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertama, partisipasi masyarakat terhadap Koperasi masih tergolong rendah, sehingga menyebabkan Koperasi tidak dijadikan pilihan utama oleh masyarakat sebagai lembaga ekonomi yang menjanjikan.
Kedua, partisipasi anggota Koperasi di Indonesia yang sama rendahnya. Sejauh ini, partisipasi anggota terhadap pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 8,41 persen. Jumlah tersebut tentu jauh di bawah data di dunia yang mencapai angka 16,31 persen. (Tempo, 11/7/22).
Ketiga, tantangan digitalisasi, Koperasi sebagai salah satu sarana masyarakat untuk berperan aktif dalam geliat ekonomi negara, tentu tidak akan lepas dari problem era baru yang menuntut untuk melakukan peralihan platform ke media digital yang memiliki jangkauan lebih luas. Hal itu perlu diakui, kini menjadi tantangan utama dalam eksistensi Koperasi Indonesia.
Peralihan kepada digital bukanlah perkara mudah bagi negara berkembang seperti Indonesia, Pemerintah dengan segera dituntut untuk melakukan rekapitulasi dan penyesuaian data Koperasi secara menyeluruh dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat pusat.
Selain itu, bimbingan dan pembinaan juga perlu dilakukan, agar peralihan kepada media digital tidak terhenti pada aspek data, melainkan sampai pada tarap pemahaman dan pelaksanaan. Walaupun, dalam prosesnya membutuhkan waktu dan biaya yang luar bisa.
Keempat, terjadi penurunan keanggotaan Koperasi. Jika kita melihat catatan ke belakang, hingga saat ini Koperasi masih memiliki catatan penting perihal minat masyarakat untuk menjadi anggota yang sempat terjadi penurunan cukup drastis.
Penurunan keanggotaan yang terjadi pada tahun 2017 hingga mencapai angka 18,2 juta anggota, dari tahun sebelumnya 2016 yang berada diangka 38,6 juta orang. Karena hal itu, lebih dari setengah keanggotaan Koperasi kehilangan peminat di tahun 2017.
Walaupun, kini melalui data sementara Desember 2021 menunjukkan kenaikan hingga mencapai angka 27,1 juta anggota, tetapi evaluasi dan mengedepankan sikap antisipasi terhadap penurunan minat keanggotaan harus terus dilakukan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan yang kuat dan bermartabat ke depannya.
Kelima, penurunan jumlah Koperasi. Penurunan juga terjadi pada jumlah usaha Koperasi di tahun 2018 hingga 2021 yang berada di kisaran jumlah 123.000 sampai 127.800 usaha Koperasi. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2017, jumlah usaha Koperasi berada di kisaran 152.000 unit Koperasi aktif.
Sedangkan, dari jumlah tersebut, unit Koperasi aktif yang mendominasi terdiri dari tiga provinsi di pulau Jawa, yaitu 22.845 Koperasi aktif di Jawa Timur, Jawa Tengah diangka 10.270 unit Koperasi aktif dan Jawa Barat dengan jumlah 15.621 Koperasi aktif.
Keenam, banyak bermunculan Koperasi bermasalah. Tantangan Koperasi yang terkini, yaitu munculnya Koperasi bermasalah. Hal ini, menjadi catatan penting bagi eksistensi perkoperasian di masyarakat.
Tercatat ada delapan kasus Koperasi yang bermasalah dalam pelaksanaan homologasi, yaitu Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya, KSP Sejahtera Bersama, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSP Pembiayaan Syariah Pracici Inti Utama, KSP Lima Garuda, KSP Intidana, KSP Timur Pratama Indonesia dan Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa. (Kompas, 11/1/22).
Sedangkan proses homologasi/perjanjian perdamaian yang telah ditetapkan untuk Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), belum memenuhi harapan dari seluruh anggota Koperasi terkait. Hal itu, tentu akan berimbas pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Koperasi, ditengah menjamurnya platform lain yang dianggap lebih meyakinkan, aman dan efisien.
Sebuah Upaya
Sebagaimana seharusnya sebuah negara bangsa, pemerintah memiliki peranan kunci dalam eksistensi Koperasi ditengah ragam persoalan yang tiada henti.
Selaku negara hukum yang demokratis dan menghormati adanya keterwakilan, segala aktivitas yang berlangsung di negara ini perlu adanya regulasi dan lembaga tertentu yang menaunginya.
Tentu, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenKop UKM) dan Dinas terkait di tingkat Provinsi serta Kabupaten/Kota, menjadi lembaga yang memiliki otoritas terhadap penyelesaian problem Koperasi Indonesia.
Sejauh ini, upaya pemanfaatan Koperasi dalam konstelasi perekonomian nasional memang terus diupayakan dan terus dikembangkan. Terbaru, KemenKop UKM di tahun 2021 sudah melakukan transformasi digital Koperasi, dengan capaian agar Koperasi mampu sejalan dengan era bisnis saat ini.
Tentu hal itu, wajib diapresiasi dengan riang gembira oleh seluruh masyarakat Indonesia, terlebih digitalisasi yang kian hari semakin kentara dengan kehidupan sosial bernegara kita.
Kita tentu tidak bisa mengabaikan perkembangan era digital saat ini, peralihan yang sudah banyak terjadi di Indonesia seperti menjamurnya marketplace serta bertumbuhnya berbagai inovasi digital mulai dari aset kripto, non-fungibel token (NFT) dan yang teranyar yaitu, decentralized finance (DeFI), lambat laun mendorong kebiasaan baru di masyarakat untuk terbiasa dengan dunia digital.
Maka, sudah seharusnya konsep ekonomi kerakyatan seperti Koperasi juga melakukan penyesuaian dengan perkembangan yang ada.
Sejalan dengan itu, perlu adanya langkah pasti yang mampu meningkatkan kualitas dan kapasitas Koperasi, sehingga memiliki jangkauan yang lebih luas serta memiliki ragam inovasi. Dengan demikian, persoalan-persoalan kepercayaan masyarakat yang rendah dan Kurangnya minat untuk menjadi bagian dari Koperasi bisa teratasi dengan segera.
Jika kita melihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, KemenKop UKM setidaknya memiliki empat strategi yang cukup relevan dengan kondisi perekonomian Indonesia bahkan dunia saat ini.
Keempat strategi yang sudah ditetapkan oleh KemenKop UKM itu, terdiri dari usaha memodernisasi Koperasi, transformasi pelaksanaan informal ke formal, transformasi digital dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi serta melakukan transformasi dalam rantai nilai global.
Dengan capaian, meningkatnya kontribusi Koperasi terhadap PDB nasional hingga mencapai angka 5,5 persen dan pengembangan 500 Koperasi modern di tahun 2024.
Maka dalam pelaksanaan hingga sampai pada pencapaian target di tahun 2024, perlu benar-benar di kontrol sebaik dan semaksimal mungkin.
Karena, jika suatu strategi hanya selesai pada tahap pelaksanaan, tanpa adanya controlling dan pembinaan yang bersifat kontinu sampai tahap finishing, berpotensi menciptakan hasil yang tidak maksimal, atau bahkan bisa jadi tidak memiliki nilai sedikit pun.
Terlebih, setiap Koperasi dan anggota dalam suatu Koperasi memiliki kecenderungan dan ego yang didorong oleh kehendak bebasnya sebagai manusia.
Sebagaimana Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan (1651) mengungkapkan bahwa sejatinya manusia merupakan serigala bagi sesamanya, dengan menggunakan kalimatnya yang cukup fenomenal "homo homini lupus."
Setidaknya hal tersebut juga pernah terjadi dalam geliat Koperasi Indonesia, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya perihal beberapa Koperasi yang bermasalah yang berimbas pada dirugikannya beberapa pihak.
Dalam kaitannya, Hobbes menyimpulkan bahwa peran negara dalam meminimalisir kondisi chaos atau tidak stabil sangat diperlukan sebagai sarana perlindungan dan penguatan secara moril dan materiil bagi masyarakat atau kelompok, seperti Koperasi.
Meski dalam catatannya, Hobbes menegaskan tidak selamanya peran negara terhadap individu atau kelompok bernilai baik, karena jika perannya berlebihan dan tanpa kenal batas tentu akan menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan bagi masyarakat.
Tujuan dari Koperasi tidak lain adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melalui peningkatan kualitas masyarakat dalam aktivitas perekonomian dengan prinsip menyejahterakan seluruh anggota Koperasi, memakmurkan rakyat Indonesia serta membangun perekonomian nasional.
Maka, sudah seharusnya Koperasi memiliki peran aktif dalam merealisasikan lima nilai fundamen dalam konsep ekonomi kerakyatan.
Pertama, menjadi sarana peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi anggota dan masyarakat sekitar. Kedua, mampu menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi anggota Koperasi dan masyarakat luas yang membutuhkan, seperti fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Ketiga, meratanya pendistribusian kepemilikan modal materiil secara relatif di antara anggota masyarakat. Keempat, penyediaan sarana pendidikan secara cuma-cuma untuk masyarakat sekitar dan terakhir, kelima, menjunjung tinggi hak setiap individu anggota dalam melakukan aktivitas perekonomian.
Untuk merealisasikan hal yang demikian, lapisan tantangan Koperasi Indonesia, dari hulu sampai hilir harus segera diatasi dengan secara cepat dan terarah, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap Koperasi terus terawat dengan baik dan benar-benar menjadi sarana masyarakat untuk menumbuh-kembangkan potensi ekonomis yang ada di masyarakat.
Selain itu, pemanfaatan terhadap bonus demografi yang terjadi di Indonesia hingga tahun 2035 mendatang penting dilakukan.
Sebagaimana laporan Badan Pusat Statistik (BPS) hasil sensus penduduk tahun 2020, menunjukkan peningkatan pada jumlah usia produktif hingga tiga kali lipat, dari tahun 1961 yang berada di angka 53,4 juta jiwa menjadi 187,72 juta jiwa di tahun 2020.
Dan, angka tersebut diprediksi akan meningkat kembali dua kali lipat di tahun 2035 dengan jumlah yang lebih besar dari usia non-produktif.
Berlimpahnya angkatan produktif tentu berbarengan dengan semangat baru dalam membangun bangsa dari sektor ekonomi dengan visi jangan tua sebelum kaya melalui misi keterlibatan dalam koperasi.
Dalam Katalog Analisis Profil Penduduk Indonesia (BPS, 2022), menunjukkan hasil kajian yang memperlihatkan banyaknya penduduk usia produktif memiliki pengaruh terhadap nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita yang sama besarnya.
Hal tersebut diperkuat dengan hubungan yang kuat antara penduduk usia produktif dengan PDRB di masing-masing provinsi pada tahun 2020, dengan hasil 0,54.
Setidaknya, melalui data tersebut menjelaskan kontribusi penduduk usia produktif terhadap perekonomian semakin signifikan dan memberikan dampak positif bagi pembangunan.
Dalam pemanfaatan hal tersebut, setidaknya membutuhkan upaya bersama dari setiap lapisan yang ada, baik pemerintah, lembaga atau dalam hal ini Koperasi, masyarakat, dan masing-masing individu.
Namun, peran pemerintah tentu sangat diperlukan untuk menciptakan generasi muda Indonesia yang tidak asing dengan istilah Koperasi dan mampu memahami intisari dari semangat membangun ekonomi kerakyatan melalui Koperasi melalui cara bergotong-royong menjadi anggota Koperasi. Dibutuhkan sosialisasi yang terukur dan pasti, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H