Mohon tunggu...
Taufik Rohmatul Insan
Taufik Rohmatul Insan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca (walau jarang) Novel, Cerpen, Puisi dan Esai Politik, Hukum, sejarah dan Kebudayaan

Setiap Detik Adalah Kisah Kehidupan. Setiap Manusia Adalah Aktornya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Kesedihan Rinto

18 Juni 2021   17:04 Diperbarui: 18 Juni 2021   17:53 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rinto si pipit dwiwarna muda. Kosong, termenung dibawah rindang pohon Beringin. Sore itu, pipit lain seusianya sedang bertaburan di langit-langit gunung terbesar di Banten. Entah hal apa yang membuatnya murung. Padahal setengah tahun kemarin, barulah ia mendapatkan sertifikat kelulusan Latihan Terbang Bebas (LTB) yang diberikan oleh Bapak Pipit Bondol Haji, selaku Kepala Suku Burung.

"Ada apa dengan mu Rinto?" tanya Lukas si pipit coklat, cemas. "Tidak seperti biasanya kau termenung di waktu sore. Cobalah berbicara kepada kawan kau ini." Rinto hanya diam memandang langit senja. Lukas terlalu cemas melihat keadaan kawannya.

Bagi Lukas, Rinto adalah sosok yang begitu berharga. Sejak ia melarikan diri dari sangkar yang membuatnya terpisah dari keluarganya di Nusa Tenggara sana. Rinto adalah burung pipit pertama yang ia temui dan yang membawanya berkeliling mengenal Hutan Tanah Sunda.

"Hei, Lukas" ucap Rinto sendu. "Apakah kau tau siapa yang menancapkan tiang-tiang besi di kampung halamanku?"

"Mengapa kau menanyakan itu?" Lukas merasa heran, "mungkin saja Kepala Suku tau siapa pelakunya."

Setelah Lukas menyarankan, mereka berdua segera menemui kepala suku. kepala suku menerima mereka dengan baik. Tidak banyak pembicaraan yang mereka angkat dihadapan kepala suku. 

Dari mereka berdua, Rinto lah yang banyak berbicara, dan sesekali terseguk-seguk, memandang tanah, seakan menahan tangis. kepala suku sangat memahami dengan apa yang disampaikan Rinto, tentang pembangunan yang dilakukan sekelompok manusia di kampung halamannya, sampai adik-adiknya yang mungil harus tewas akibat itu. Tetapi, hal itu di luar kuasa para Burung Pipit.

"Apakah aku akan benar-benar kehilangan keluarga Kembali, setelah Ayah dan Ibuku ditangkap pemburu?" tanya Rinto murung.

"Maafkan aku" ucap kepala suku. Rinto hanya berkabung dalam tanya, dengan sesekali rangkulan hangat temannya, hinggapi pundaknya.
"Sabar Rin." Lukas menenangkan "Begitulah kehidupan kita yang lemah, selalu kalah dan kena salah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun