Arsitek megalitik yang diperkirakan hidup sekitar 6000 tahun yang lalu, menyusun kolom-kolom batu tersebut menjadi sebuah bangunan berundak-undak yang sangat indah. Sayangnya, letak batu-batuan tersebut saat ini sudah banyak yang tidak beraturan, tergeletak begitu saja. Menurut Pak Dadi, petugas di situs Gunung padang, sebelum dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi, Gunung Padang merupakan sumber kayu bagi para pencari kayu. Banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di sini dan ditebang oleh para pencari kayu. Selain itu, Gunung Padang juga pernah dimanfaatkan sebagai ladang oleh masyarakat sekitar. Penebangan dan pengangkutan pohon serta perladangan lah yang mengubah posisi bebatuan dari posisi aslinya. Untungnya, masih terdapat beberapa batuan yang tersusun rapi pada posisi aslinya sehingga nilai-nilai budayanya tidak hilang begitu saja.
Pada pelataran pertama, terdapat batu berbentuk poligon yang disebut batu gamelan. Konon, pada jaman dahulu, dari arah Gunung Padang ini kerap terdengar bunyi-bunyi gamelan setiap malam Selasa dan malam Jumat. Sampai saat ini bunyi gamelan ini sesekali saja terdengar, dikalahkan oleh bunyi-bunyi dari sumber-sumber suara lain yang lebih modern, seperti TV, radio, maupun kendaraan bermotor. Salah satu petugas yang mengantar kami, memainkan batu gamelan tersebut, terdengarlah alunan musik tradisional Sunda dari pukulan-pukulan batu kecil pada batu gamelan. Para seniman tradisional Sunda, seperti pesinden, dalang, konon sering melakukan doa di sini sebelum melakukan pertunjukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H