Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cancel Culture; Antara Ruang Edukasi Publik, Standar Etika, dan Ancaman Kebebasan Berekspresi

9 Februari 2025   21:55 Diperbarui: 12 Februari 2025   02:14 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kasus jhonny deep-sumber foto -kompas--AFP/DANIEL LEAL-OLIVAS

Benarkah Cancel Culture Terjadi di Indonesia?

Mungkin itu pertanyaan besarnya jika kita ingin melihat bagaimana sebenarnya realitas cancel culture di negara kita. Fenomenanya sudah terjadi, meskipun mungkin belum sebesar atau seintens yang terjadi di negara-negara Barat. 

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak contoh di media sosial yang menunjukkan bagaimana warganet Indonesia memberikan reaksi keras terhadap pernyataan atau tindakan dari tokoh publik, influencer, selebriti, atau perusahaan besar. Kasus-kasus seperti ini seringkali menjadi viral dan bisa berujung pada hilangnya dukungan publik, hilangnya pekerjaan, atau pemboikotan produk dan layanan yang terkait dengan individu atau entitas yang dianggap bersalah.

Misalnya, ada kasus kontroversial di dunia hiburan Indonesia, seperti selebriti yang membuat pernyataan atau aksi yang dianggap ofensif, atau perusahaan yang melakukan kesalahan sosial dan menerima kecaman luas dari masyarakat. Media sosial, yang sangat kuat di Indonesia, berperan besar dalam mempercepat penyebaran reaksi negatif, yang bisa berujung pada "canceling" seseorang.

Lantas apakah kemunculan cancel culture hanya sebuah fenomena atau trend jangka panjang?. Pertanyaan ini juga penting mengingat fenomena cancel culture juga memiliki dampak yang tidak seluruhnya positif. Apalagi jika tidak didukung oleh kesadaran dan kehati-hatian publik dalam menyikapi kemunculan fenomenanya.

Jadi semuanya itu tergantung pada bagaimana masyarakat Indonesia beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi. Di satu sisi, banyak orang yang melihat cancel culture sebagai bentuk protes yang sah terhadap ketidakadilan atau ketidakwajaran yang terjadi. Namun, di sisi lain, ada yang merasa bahwa ini berpotensi merugikan kebebasan berbicara dan kreativitas.

Jika masyarakat terus berkembang dalam konteks kesadaran sosial dan ketidakadilan yang lebih besar, maka cancel culture bisa terus muncul, namun harus disertai dengan pemahaman tentang bagaimana menyeimbangkan hak berbicara dan kewajiban untuk bertanggung jawab.

Namun bagi individu yang terkena dampak cancel culture, ini bisa menjadi sebuah tantangan besar. Cancel culture bisa mengancam kebebasan berkreasi, karena pengkarya merasa takut untuk berekspresi atau menampilkan karya mereka karena khawatir akan mendapat kecaman yang sama. 

Dalam konteks ini, seolah tidak dikenal azas praduga tak bersalah--ada banyak pertanyaan tentang keadilan dan etika, terutama ketika sebuah karya atau pernyataan dibatalkan tanpa kesempatan untuk klarifikasi atau untuk memperbaiki diri. Ini menciptakan ketidakpastian, yang pada gilirannya dapat membatasi kebebasan artistik dan ekspresi. 

Apakah Adil? Penting untuk mengingat bahwa cancel culture sering kali dipengaruhi oleh opini publik yang bisa sangat subyektif. Apa yang dianggap salah oleh sebagian orang, mungkin tidak dianggap salah oleh sebagian lainnya. Ini menimbulkan tantangan besar dalam menilai apakah sebuah tindakan atau karya layak dibatalkan atau dipertimbangkan lebih lanjut. 

Oleh karena itu, pendapat tentang cancel culture sangat bergantung pada nilai-nilai dan standar etika yang diterima oleh individu atau kelompok. Standar etis ini berbeda di setiap orang, dan inilah yang membuat cancel culture menjadi diskursus yang begitu kompleks.

Sehingga ada yang mengkuatirkan bisa berujung pada pembatasan kreatifitas, polarisasi sosial, ketidakseimbangan dalam penilaian jika terlalu cepat dijalankan tanpa memberikan ruang untuk klarifikasi atau pertimbangan matang, bisa saja ada individu yang dihukum secara tidak adil karena kurangnya informasi atau konteks. Atau menjadi bola liar yangpersekusi daring. 

Apalagi, dalam sejumlah kasus, cancel culture terjadi karena fakta yang tidak lengkap atau bersifat subjektif. Lihat saja kasus perceraian aktor kenamaan asal Amerika Serikat Johnny Depp dan aktris Amber Heard pada 2017 yang bikin heboh setelah munculnya klarifikasi yang mementahkan semua tuduhan tersebut.

kasus jhonny deep-sumber foto -kompas--AFP/DANIEL LEAL-OLIVAS
kasus jhonny deep-sumber foto -kompas--AFP/DANIEL LEAL-OLIVAS

Pemboikotan bisa dalam bentuk doxing, atau penghentian dukungan secara massal kepada orang tersebut. Cancel culture berkembang sejalan dengan gerakan Me Too, gerakan melawan pelecehan dan kekerasan seksual yang marak di jagat media sosial pada 2017. Namun gerakan ini biasanya muncul dalam pembahasan terkait misogini, ras, dan orientasi seksual.

Cancel culture sedikit berbeda dengan gerakan lainnya yang telah muncul lebih dulu, yaitu call-out culture atau budaya memanggil. Call-out culture lebih kepada teguran dari warganet kepada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu kesalahan. Mereka mengkonfrontasi agar pihak itu menyadari kesalahan dan tidak lagi melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun