Jika melihat kebiasaan di Aceh dimana anak-anak yang tinggal di kampung masih getol bertadarusan hingga tengah malam, rasanya program libur selama Ramadhan itu kok pas sekali dengan semangat mereka untuk mengisi Ramadhan dengan aktifitas ibadah.
Selama ini anak-anak memakai alasan datang terlambat atau tidak hadir saat Ramadhan karena hingga larut malam mereka membaca Al Qur'an atau bertadarusan. Bahkan dalam hari-hari normal, sebagian besar remaja yang tinggal di kampung di Aceh sampai dengan saat ini, masih rutin mengaji setiap malam, terutama belajar Kitab Kuning. Â Selain Fathul Qorib, Al-Aqidah al-Wasitiyyah, Bidayatul Hidayah, Nashaihul Ibad , Qutul Qulub, Tafsir Ibnu Katsir dan kitab Riyadus Salihin.Â
Tapi itu bersifat sangat parsial dan subjektif. Artinya masing- masing daerah punya titik kelebihan dan kelemahan dalam mengimplementasikan kebijakan baru yang sedang diwacanakan saat ini. Dan dalam konteks melihat persoalan secara nasional, kita tidak bisa berkaca pada satu daerah secara parsial sebagai tolok ukurnya. Lain Ladang Lain Belalang, begitu kata peribahasa. Sehingga kebijakan nasional harus jelas "belalang" kebijakannya.
Sekolah di Aceh Sebuah Realitas
Dalam kasus sekolah di Aceh yang notabene berdasarkan syariah, persoalan kesyariatan tidak hanya di atur saat Ramadhan, tapi juga dalam keseharian mereka selama 11 bulan lainnya. Misalnya saja yang paling sederhana, kewajiban penggunaan hijab dan seragam yang harus memenuhi syarat syariah menutup aurat. Bagi laki-laki dengan bercelana panjang, dan bagi perempuan rok panjang dan baju lengan panjang seperti baju kurung yang melewati batas pinggul.
Bahkan dalam keseharian di sekolah dimana saya mengajar, setiap Jumat kami melaksanakan Yasinan atau membaca Surat Yasin saat pagi sebelum masuk kelas. Anak-anak yang terlambat selain menghafal surat pendek dalam juz Amma (juz 30), mereka juga diwajibkan menuliskannya. Anak-anak juga shalat berjamaah bergantian beberapa kelas setiap harinya mengingat kapasitas mushala sekolah yang terbatas.
Sedangkan daerah lain tidak seluruhnya menjalankan kebijakan tersebut secara ketat. Sehingga kebijakan libur atau tidak libur selama Ramadhan menjadi sangat berbeda cara pandangnya.
Tapi dalam konteks kebijakan nasional, harus dikaji tidak boleh parsial, namun bersifat komprehensif, dimana nantinya manfaatnya harus bisa lebih optimal dirasakan daripada mudharatnya. Apalagi tantangan saat ini tak lagi sesederhana dulu. Terutama kehadiran digitalisasi dalam segala aspek yang bisa berdampak pada bagaimana anak-anak menyikapi manfaat teknologi selama berpuasa di Bulan Ramadhan.
Apakah ada pemikiran yang lebih konstruktif misalnya, berupa kebijakan menjalankan aktifitas pendidikan yang lebih kreatif dan fun, bukan sekedar belajar di kelas reguler seperti hari-hari biasa?. Seperti kata anak-anak, saat saya sampaikan soal wacana libur atau tidak libur. Meski pro kontra pada intinya mereka sepakat; Â kalau harus tetap sekolah, masa iya Ramadhan juga belajar biasa, yang di luar kebiasaan dong!. Lantas apa wujudnya?. Tentu harus dipikirkan solusi yang cerdas.
Libur Saja Kok Repot, Tapi Wacana Ini Memang Tidak Mudah Kok!