Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sastra Masuk Kurikulum Sekolah, Apa Sisi Baiknya?

17 Juni 2024   23:09 Diperbarui: 28 Juni 2024   16:36 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa membaca buku sastra sumber gambar info publik.com

Atau ini justru menjadi  sebuah kabar gembira bagi para sastrawan seperti penyair, cerpenis, maupun novelis yang selama ini berharap karya mereka tidak hanya menjadi penggembira dalam dunia karya tulis dan penerbitan sehingga mereka akan semakin bersemangat untuk berkarya.

Namun seperti banyak dianalisis media, isu ini sekaligus juga bisa menjadi berita buruk terutama bagi sastrawan yang karyanya tidak segmented untuk siswa. Terutama karena isinya yang mungkin tidak sesuai dengan materi pembelajaran di sekolah atau isinya yang hanya diperuntukan untuk kalangan umur 18 tahun keatas.

Sehingga banyak kalangan yang turut menyumbang suara dan urun pikir agar dalam pelaksanan program sastra masuk kurikulum tanpa adanya "politik kanonisasi", karena kanonisasi buku sastra bermasalah dan cenderung bisa menyesatkan. Bagaimana maksudnya?.

Ketika daftar buku sastra yang akan dimasukan dalam kurikulum (buku kanon) dipilih, maka tentu akan ada beberapa buku yang tidak akan pernah bisa masuk ke dalam bahan ajar kurikulum sastra bagi siswa di sekolah.

Pengalaman saya pribadi, sebagai pembaca aktif sejak lama, misalnya novel berjudul Harimau-Harimau (1975) karya Mochtar Lubis-yang dibuatnya di penjara Madiun sebagai bentuk perlawanan kepada Para pemimpin, adalah karya yang luar biasa, setting cerita, gaya penulisan, plot cerita dan segala sesuatu menjadi inspirasi kita dalam menulis sebuah novel.

Apalagi muatanya membicarakan kehidupan para pemimpin negara dan kaitan dengan sosial ekonomi masyarakat kita yang sangat menarik, namun dibalik itu ada beberapa bagian di dalam buku yang menurut saya sangat tidak sesua dibaca oleh anak-anak seusia sekolah.

Demikian juga di beberapa buku novel lainnya, sehingga inilah yang menjadi salah satu jebakan, buku kanon tidak seluruhnya bisa dimanfaatkan para siswa sebagai bahan ajar pendukung sastra masuk kurikulum.

Begitu juga buku-buku karya Pramoediya Ananta Noer, yang berselubung dengan narasi tentang politik yang kental sebagai bentuk pemberontakan  pemikiran terhadap pemerintah. Karya-karya tersebut sebenarnya justru bisa membuka wawasan sejarah baru.

Padahal kabar sastra masuk kurikulum awalnya dianggap sebagai kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kronis pelajaran satra yang selama ini diposisikan sangat lemah, hanya sebagai pelengkap penderita. Sedangkan di luar negeri pelajaran sastra, Literature Studies, Literary Studies, Literature Studies, dan Comparative Literature menjadi salah satu pelajaran yang sangat menarik dan dipelajari dengan suka cita.

Tentu kita mengenal karya William Shakespeare; Romeo and Juliet, Macbeth, Hamlet, Othello, King Lear. Atau karya Charles Dickens; Great Expectations, A Tale of Two Cities, Oliver Twist, dan karya Jane Austen; Pride and Prejudice, Sense and Sensibility. Atau karya George Orwell, Mark Twain, Emily Bront atau karya Homer;The Odyssey.

Karya-karya tersebut dipilih karena mereka tidak hanya menggambarkan kisah yang berharga secara moral dan historis, tetapi juga menawarkan pemahaman mendalam tentang gaya penulisan, tema universal, dan analisis karakter yang relevan bagi pengembangan pemikiran kritis siswa.

Studi atas karya-karya sastra klasik ini juga membantu siswa memperluas wawasan budaya mereka serta membangun apresiasi terhadap warisan sastra global.

Dalam beberapa dekade terakhir, negara kita sedang  memperluas akses pendidikan dasar secara signifikan. Harus diakui bahwa bersekolah tidak bersinonim dengan belajar. Masih cukup banyak anak Indonesia yang bersekolah tapi hasil belajarnya belum ideal, termasuk untuk kecakapan mendasar, seperti literasi membaca.

Ilustrasi diskusi tentang sastra sumber gambarkemendikbud RI
Ilustrasi diskusi tentang sastra sumber gambarkemendikbud RI

Polemik Sastra, Tantangan dan Solusinya 

Apakah nantinya revitalisasi sastra dalam kurikulum dapat menjadi berkah atau beban tergantung pada sudut pandang dan implementasinya. Tergantung pada seberapa besar minat siswa terhadap sastra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun