Julia Robert (Elizabeth Gilbert atau Liz Gilbert), dalam film Eat, Pray and Love bertemu Richard asal Texas dalam perjalanannya ke Indonesia. Richard berkisah tentang rasa bersalah kepada keluarganya yang terus menghantuinya, atas semua kegagalan di masa lalunya.
Dalam kehidupan kita, masih banyak Richard-Richard lain yang juga belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Mereka mengalami kegagalan dalam pekerjaan, bisnis, bahkan keluarga, lalu menyalahkan dirinya sendiri berkepanjangan. Liz-pun juga berusaha menemukan dirinya dan berusaha untuk bisa "berdamai".
Anthony Dio Martin, seorang motivator, pernah menuturkan sebuah kisah lainnya, tentang seorang tua yang merasa tak pernah bisa tenang dan damai, padahal ia telah memaafkan kesalahan orang lain, dan orang lain juga telah memaafkan kesalahannya. Menurut Martin, sebabnya tidak lain karena "orang tua tersebut belum memaafkan dirinya sendiri".
Tak hanya orang dewasa, anak-anak kita pun ketika didera kegagalan, seperti tidak lulus masuk perguruan tinggi saja, banyak yang menyalahkan dirinya dan menganggap kegagalan itu sebagai "aib". Rasa itu terus disimpannya hingga bertahun-tahun kemudian dan menstimulasi psikologisnya sebagai "orang yang gagal".
Perasaan yang bisa saja tak pernah terungkapkan kepada orang lain menjadi "racun" yang buruk bagi pikirannya. Sehingga bisa memperngaruhi psikologis dan caranya bertindak, serta rasa percaya dirinya.
Di kelas yang saya ampu, banyak siswa dengan beragam masalah setiap hari pasti saya jumpai. Salah satunya, seorang siswa yang merasa bersalah karena ternyata ibunya meninggal saat melahirkan adik terakhirnya, dan ia merasa selama waktu itu justru sibuk dengan dirinya sendiri, sehingga ibunya jatuh sakit dan akhirnya meninggal.Â
Ia terus menerus dihantui rasa bersalah. Berbagai berusaha melakukan pendekatan  untuk membantunya dengan menyarankannya meyibukkan diri dalam kegiatan positif disekolah, termasuk eskul yang saya bimbing siapa tahu bisa menjadi tempat curhatannya.
Kasus itu semakin membuat saya merasa bahwa setiap siswa memang punya masalah masing-masing yang tidak sederhana. Sebagiannya muncul dalam bentuk perilaku yang cenderung pendiam atau sebaliknya menjadi seorang pemberontak dan di cap "anak bandel" di sekolah.
Memaafkan Diri Sendiri
Cobalah untuk memaafkan diri sendiri terlebih dulu. Sebuah penelitian menarik dilakukan Dr. Luskin tentang Standar Forgiveness Project, hasilnya, ternyata orang yang telah belajar teknik dan filosofi memaafkan, akhirnya benar-benar bisa memaafkan dirinya dan 70 persen dari mereka merasa hidup lebih sehat dan bahagia dari sebelumnya.
Dan yang paling menarik dari penelitian itu adalah ketika diawal penelitian ke-259 pesertanya terlebih dulu diminta untuk memaafkan diri mereka. Mengapa?.
Dalam banyak film kita temukan tokoh yang tinggal disebuah tempat terpencil, baik kepada setiap orang dan cenderung menjadi orang yang pemaaf, tapi justru kepada dirinya sendiri ia merasa terus dihantui rasa bersalah.
Mungkin sebagian dari kita pernah menonton film "Rambo"---tentara depresi korban Perang Vietnam yang terus menerus berusaha untuk menghindari kehidupan yang sibuk dengan tinggal di sebuah desa yang sepi.
Ia tak mau berurusan dengan orang yang iseng atau kepo dengan kehidupannya dan ia pun tak mau "menyenggol" kehidupan orang lain. Tapi ternyata di balik sosoknya yang tegap dan terlihat garang, ia justru memendam masa lalu sisa kenangan perang yang selalu membuatnya depresi.
Komandannya yang selalu menjadi tempat curhatannya, meski sudah berkali-kali mengatakan bahwa kematian teman-temannya satu kompinya bukan karena kesalahannya, tapi Rambo tetap saja merasa bersalah.
Banyak orang merasa jauh lebih mudah memaafkan kesalahan orang lain, tapi giliran menyangkut dirinya sendiri ia merasa tak mudah melakukannya. Khususnya menyangkut masa lalu, kesalahan fatal, kebodohan, kegagalan yang sangat sulit dilupakan.
Intinya bahwa setiap orang pernah berbuat salah tetapi tidak semua orang mampu menerima dan berdamai dengan kesalahannya sendiri.
Bagaimana Melawan Hantu Dalam Diri Sendiri?
Bagaimana Jika kita memulainya dengan Membuka Hati  Kembali?.
Mengapa ini menjadi langkah penting pertama?. Ketika kita terus merasa gagal, ternyata kita seperti menutupi tubuh kita dengan selubung berwarna kelam yang menyembunyikan semua masalah.
Dampak yang paling fatal adalah ketika kita justru selalu berusaha mensabotase potensi atau apapun yang kita miliki dengan mengatakan bahwa "aku gagal, aku pasti gagal!". Masa lalu tetap menjadi hantu yang membayangi hidupnya sendiri.
Dengan memaafkan diri sendiri dan membuka hati untuk menerima kenyataan itu sebagai sebuah konsekuensi yang memang wajar ditanggung oleh seseorang yang dalam hidupnya sebagai---manusia-- homo sapies, yang bersosialisasi dan harus bersinggungan dengan lingkungan, orang lain selain dirinya---termasuk keluarganya---orang-orang yang disayanginya.
Apakah belum terlambat jika harus Mencintai Diri Kembali?
Apakah ini juga harus?, bukankah ketika kita belum bisa memaafkan dan membuka hati kita untuk diri sendiri, artinya kita belum mencintai diri sendiri?. Kita mungkin melihat realitas kesalahan masa lalu dari situasi sekarang.
Mungkin ketika kita menyadari dengan lebih sadar, bahwa mungkin situasi dan kondisinya memang mengharuskan kita melakukan "kegagalan" itu karena tak ada pilihan lain.
Baahkan kita mungkin harus memikirkan alasan lain yang  bisa membuat diri sendiri memaklumi dan mengerti serta memaafkan ketika berada dalam situasi tersebut.
Benarkah rasa bersalah, menunjukkan Rasa Sayang yang Sebenarnya?
Seorang ayah yang menyendiri tinggal di hutan selama bertahun-tahun karena kegagalannya menyelamatkan keluarganya dari kecelakaan, sebagai bentuk pelariannya, diliputi rasa sesal dan kesepian, rasa malu dan perasaan gagal itu sebagai pengorbanan kepada orang-orang yang disayanginya. Sebagai bentuk ungkapan rasa sayangnya, sehingga ia "harus" terus menderita.
Menurut motivator Dio Martin, ini adalah sebuah penyesalan dan cara berpikir yang salah. Kita boleh merasa bersalah tapi bukan berarti terus-menerus terjebak dalam rasa bersalah itu.
Mengapa tak memulai Hal Positif yang Baru?
Dalam potongan kisah di Novel Khaled Hosseini, Â A Thousand Splendid Suns, dikisahkan seorang anak perempuan yang terbuang, mendapat kekerasan selama masa mudanya, pada akhirnya memutuskan untuk mengelola sebuah rumah singgah yang menampung anak-anak jalanan yang terlantar dan mendedikasikan seluruh hidupnya merawat anak-anak jalanan.
Meskipun hanya fiksi, namun dilatarbelakangi situasi perang dan kekerasan patrilinial yang menarik menjadi perhatian kita.
Begitu juga dengan kisah Oprah Winfrey dengan masa lalunya yang kelam, tapi kini menjadi pemilik bisnis raksasa HARPO (nama Oprah yang dibalik). Dan kini mendedikasikan dirinya menolong banyak anak-anak perempuan dengan mendirikan banyak sekolah di negeri-negeri tertinggal, agar kelak para perempuan bisa lebih berdaya.
Seperti sebuah pertanyaan yang sering kita temui di buku psikologi dan filsafat, "kenali dirimu, baru kenali orang lain". Bahwa, memang segala sesuatu yang baik mestinya dimulai dari diri sendiri. Termasuk ketika kita memaafkan orang lain, pastikan kita juga telah memaafkan diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H