Sewaktu jalan pulang dari sekolah, di jalanan menuju rumah, ternyata masih ada nelayan yang menjual ikan menggunakan mobil pick up. Tumpukan ikan tongkol ukuran sedang yang biasanya per ekor dijual seharga Rp.5 ribu, ditawarkan mereka satu plastik besar berisi kurang lebih lima belas ekor hanya seharga Rp.10 ribu saja! Tentu saja kondisi ikan sudah semakin memburuk karena terlalu lama direndam es.
Melaut dengan Harapan, Pulang dengan Keputusasaan
Padahal ini sudah masuk minggu ketiga sejak tanggal 5 Mei 2024, saat hasil tangkapan para nelayan melimpah berupa ikan dencis, tongkol, dan lainnya, tapi harganya justru anjlok di pasaran. Para pembeli jadi bahan curhatan para nelayan sejak merosotnya harga ikan secara drastis.Â
Setiap kali mereka menjual juga berkeluh kesah, lelah melaut tapi sampai di darat, ikan yang mereka tangakap dengan sukacita, justru tidak ada harganya sama sekali. Mereka terpaksa harus menjualnya eceran hingga ke pinggiran jalan, dan jika sudah kadaluarsa barulah dibuang.Â
Padahal menurut pengakuan para pekerja di kapal penangkap ikan tersebut, rata-rata satu kapal mampu membawa pulang ikan hasil tangkapan mencapai 30 hingga 40 ton lebih. Tapi untuk saat ini, harga ikan jenis dencis, tongkol, dan lainnya dijual hanya Rp 30 ribu per satu keranjang. Satu keranjang isinya 30 kilogram.Â
Sebagian besar ikan-ikan tersebut memang telah diborong oleh para pengusaha pengolah makanan khas tradisional untuk dijadikan Keumamah, atau sejenis olahan makanan ikan khas Aceh yang diawetkan dengan cara direbus, dan dijemur agar tahan lama.
Tapi tetap saja tak bisa mengatasi limpahan hasil yang berlebih tersebut. Padahal sebelum muncul kejadian ini, para nelayan telah meminta kepada Pemerintah untuk memberi bantuan tambahan kapal penangkap ikan bertonase besar, seiring dengan semakin luasnya wilayah tangkap di Zona Laut Aceh, agar hasil tangkapannya bertambah besar.
Permintaan tersebut dipenuhi dengan bantuan kapal bertonase besar dan dibangunnya Pelabuhan Samudera Lampulo, yang dilengkapi dengan gudang barang, pabrik es, pabrik pengolahan ikan. Tapi kenyataannya, saat terjadi panen ikan seperti pada bulan Mei 2024 ini justru terjadi kasus, nelayan Aceh membuang berton-ton ikan.
Ikan-ikan hasil tangkapan yang tak terserap pasar akhirnya justru ditimbun di sekitar area pelabuhan ikan dengan menggunakan bantuan alat berat.
Kondisi tersebut praktis membuat para nelayan merugi. Modal yang keluar untuk pergi melaut tidak sebanding dengan pendapatan hasil penjualan ikan. Kurangnya tempat penyimpanan atau storage membuat kondisi ikan cepat membusuk dan terpaksa harus dibuang oleh nelayan.
Bahkan kapal banyak yang pulang takbersandar di pelabuhan dalam enam hari ini, kapal-kapal tak lagi bongkar muatan.Kapal yang baru sampai dan membongkar muatannya,  kondisi ikannya juga  sudah banyak yang mulai busuk.
Pemerintah Tak Responsif dan Jeli Melihat Potensi?
Menurut pengakuan para nelayan yang menjual ikan di pinggiran jalan, Toke (pemilik kapal) tempatnya bekerja, sekali turun melaut mengeluarkan modal hingga Rp 100 juta. Tapi pendapatannya hanya Rp 10 juta hingga Rp 15 juta saja. Itupun kalau laku, tapi dengan kondisi banyak yang dibuang, mereka justru tekor.
Sebagian besar ikan dibuang lantaran lama di darat tanpa penyimpanan yang cukup, stok penyimpanan cold storage milik pemerintah tidak cukup menampung hasil tangkapan nelayan. Sehingga mereka hanya bisa menyimpan hasil tangkapan, dengan kondisi es yang seadanya.
Padahal dulu sewaktu pembangunan Pelabuhan Samudera Lampulo dimulai, dilengkap dengan berbagai fasilitas, termasuk pabrik pengolahan ikan. Ternyata kapasitasnya sangat terbatas, begitu juga dengan pabrik olahan ikannya ternyata varian produknya juga terbatas tidak mengikuti kebutuhan pasar, berikut pemasarannya juga tidak optimal.Â