Seperti sebuah siklus, kehadiran artis di panggung politik, atau sebut saja artis jadi politisi sudah bukan lagi isu baru. Sepanjang pemilu di gelar kehadiran mereka yang awalnya "diperbantukan" sebagai hiburan penarik massa saat kampanye, berubah haluan menjadi mesin baru partai untuk mendulang suara.
Tak hanya artis, parpol juga manfaatkan peluang "aji mumpung" popularitas para artis. Kini kehadiran mereka bahkan lebih masif lagi, di tahun 2024 saja, tercatat ada 82 kalangan artis yang masuk dalam bursa caleg, termasuk Komeng.Â
Namun seperti kata Tantowi Yahya, jangan melulu dilihat keartisannya saja, tapi juga lihat kualitasnya. Saya menyadari itu sebagai sebuah kebenaran yang juga tak bisa diabaikan.Â
Dalam kasus seseorang memilih menjadi guru saja, yang sudah kuliah di fakultas keguruan, begitu masuk kelas langsung gamang.
Tapi ada orang biasa di kampung, jadi guru tak cuma berdedikasi super, tapi juga "sangat guru" daripada guru formal. Meskipun tak bisa di pukul rata, tapi realitas itu memang tak bisa dipungkiri.Â
Namun dari puluhan artis dan seniman itu berapa persen yang kapasitasnya secara politik mumpuni dan bisa mengakomodir berbagai persoalan kompleks negeri ini?. Pertanyaan kritis yang tidak dimaksudkan untuk merendahkan, anggap saja sebagai bentuk tantangan. karena banyak dilontarkan publik. Ini juga mengapa kehadiran para artis dan seniman menjadi "polemik kecil".
Suatu ketika saya hadir di pertemuan seorang caleg baru yang kebetulan juga seorang komedian di gedung kampus. Ketika ditanya apa rencananya nanti setelah berkantor di gedung dewan, jawabannya cukup menarik.
Terlepas sedang melawak atau tidak, ia menjawab bahwa, "saya sama sekali belum punya rencana, kan masuk gedung dewannya belum , ini juga baru kepilih. Biar mudah tolong dong dibantu, apa rencana yang harus saya lakukan".
Saya cukup kaget dengan jawaban tersebut, namun karena caleg baru itu komedian saya pikir mungkin ia sedang melucu.
Dan setelah berkiprah di gedung dewan, namanya selalu muncul setiap pemilu sebagai incumbent yang tak terkalahkan. Jadi, apakah ia tak berdedikasi dan tak punya kapasitas, begitu pikir saya kemudian. Jika tidak, apakah keterpilihannya hanya karena popularitas sebagai pelawak?.
Tentu saja publik tak se-sesembrono itu memilih cuma sekadar popularitas 3 tahun berturut-turut, tanpa rekam jejak yang baik, minimal jika "tak mumpuni secara intelektual" paling tidak ia "cerdas sosial". Masyarakat kelas bawah-menengah lebih mudah mengerti "bahasa sosial" daripada berkoar-retorika dengan istilah rumit tanpa realisasi.
Meskipun saat ini dunia parlemen ada yang meng-diidentikannya secara satir sebagai "ruang para badut politik". Saya tersenyum getir saat di sebuah instagram muncul sebuah iklan," Dicari badut untuk pertunjukkan di senayan-hubungi nomor hp berikut 08xxx". Dalam hati kok saya membenarkan.
Susahnya Bangun Kader