Saat UU Pemilu mensyaratkan keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 30 persen, partai-partai kelimpungan mencari kader perempuan. Jangankan kader perempuan, kader laki-laki saja selama ini nyaris dilupakan.
Kebanyakan adalah pemain lama, yang disulap dengan muka baru. Bisa jadi benar bahwa persoalan kader memang banyak diabaikan, terutama karena membangun kader dalam dunia politik butuh waktu.Â
Sementara politik sering butuh sosok yang instans, yang penting cetar membahana dampaknya (baca : pemilihnya)--maka kemudian dunia artis dilirik sebagai "cara instans" menarik massa. Karena setidaknya setiap artis memiliki fans base.Â
Oddie Randa, seorang Chief Operations Officer Gushcloud Marketing Group, mengatakan bahwa influencer (bisa artis didalamnya) terbagi menjadi tiga kategori berdasarkan jumlah pengikutnya di media sosial.
Nano: Jumlah pengikutnya di bawah 10.000 akun. Micro: Jumlah pengikutnya 10.000 hingga 100.000 akun. Macro: Jumlah pengikutnya lebih dari 100.000 akun.Â
Lebih lanjut kata Oddie, "Jika sudah di atas satu atau dua juta followers itu hitungannya selebritas atau kita sebut premium influencer. Sebutan selebritas di sini tidak mesti mereka yang sudah masuk televisi, tapi terkenal".
Dengan begitu besarnya fans tentu sangat menggiurkan bagi sebuah partai politik yang ingin cepat besar tanpa perlu repot keluar fulus banyak dan buang waktu. Asumsi yang muncul di ruang publik, masuk politik itu kan berbayar dan mahal!.
Demokrasikah Cara Instans itu?
Dalam demokrasi kekinian, fenomena selebriti beralih profesi menjadi politisi sudah jamak. Trend itu selalu menguat setiap pemilu, mengikut pola yang telah berlangsung selama beberapa siklus pemilu di negara ini.
Keikutsertaan artis yang memberi warna pada keterwakilan masyarakat dalam parlemen bisa dianggap sebagai bentuk diversifikasi demokrasi di Indonesia.Â
Namun begitu, tugas artis juga tak berhenti di proses kampanye, terpilih, lalu jadi anggota legislatif. Mereka harus secara serius memenuhi harapan masyarakat berkompetensi memberi sumbangan nyata saat sudah jadi politisi di parlemen.
Mendorong artis jadi calon dan anggota legislatif memang tak dilarang, dan bukan tabu politik. Pertimbangan popularitas artis adalah sebuah modal sosial, keuntungan elektoral bagi parpol, terlepas dari kapasitas dan kapabilitas politik dari para artis yang politisi itu. Terutama tanggung jawab yang kelak dibebankan kepada mereka sebagai perwakilan rakyat.
Apalagi fungsi keterwakilan (representasi) dalam demokrasi bukanlah cuma soal statistik jumlah pemilih. Lebih dari itu yang mendasar tentulah terwakilinya kepentingan, dan cakap dalam membuat kebijakan.
Walaupun begitu parpol dalam pemilu legislatif tetap menempatkan para artis daerah pemilihan (dapil), karena popularitas artis bisa melompati batasan geografi. Artinya mau di tempatkan dimana saja, karena sudah populer hasil pemilihnya sangat potensial dikonversi menjadi basis elektoral sebagai politisi.
Lantas apakah pilihan jalan pintas itu menabrak demokrasi, mengabaikan kerja keras caleg yang berkualitas dan berdedikasi tapi minim "sumber daya"?.Â